AfinismeCerpenKolomKontributor

Apron buat Nina

0

 

 
 
Oleh : Afinisme Author*
 
“Nina … mau ke mana, Sayang?” lelaki itu memanggil putri semata wayangnya.
“Ini hari minggu, Ayah. It’s time for having fun!”
“Tak bisakah kau sisihkan waktumu buat Ayah?” tanya Pak Danu tanpa mengalihkan pandangan dari rajangan bawang bombai.
“Untuk apa, Yah? Kan Nina sudah sering membantu Ayah di dapur? Meskipun hanya mencuci piring.”
Lelaki itu melepas pisau yang dipegangnya, lalu mencuci tangan dan berjalan ke arah Nina yang sedari tadi berdiri di depan pintu, menunggu sang ayah.
“Kamu sudah besar, Sayang. Ada yang lebih penting dari sekedar hang out di luar.”
            Nina hanya diam, tangannya memainkan tas yang ia pegang.
“Ayolah … Ayah ingin mengajarkan sesuatu padamu.”
“Mengajarkan apa?”
Lelaki itu menunjuk apron yang ia kenakan seraya tersenyum.
“Memasak?” Nina melongo.
“Iya.”
“Tapi Nina benci memasak, Yah.”
“Itulah yang ingin Ayah ajarkan padamu. Agar putri kesayangan Ayah suka dengan yang namanya meee-maaa-saaak.”
Nina cemberut dalam diam. Pak Danu hanya tersenyum melihat sikap putrinya tersebut. Semenjak ditinggal wafat ibunya, Nina selalu mencari kesibukan di luar rumah. Mungkin karena sebagai pelarian dari rasa sakit dan kekecewaan.
“Ini, pakai apron baru … khusus untuk putri kesayangan Ayah.” Pak Danu memberikan apron berwarna merah muda, lalu mengajaknya ke dapur. Keseharian pak Danu sebenarnya bukanlah hanya sekedar ayah bagi Nina. Tapi juga seorang chef yang ahli di bidang gastronomi. Baik Western, Oriental ataupun Arabian food. Ia pemilik mini resto dengan puluhan cabang di beberapa kota di Indonesia.
Sesampai di dapur, Nina disambut dengan kitchen set bermerek serba lengkap. Dari wajan Teflon, panci presto, mesin pencacah, pengaduk sampai panggangan. Suasana dapur terlihat nyaman. Arsitektur ruangannya sengaja pak Danu desain layaknya dapur-dapur para chef Italia. Tak jauh dari tempat ia berdiri, sebuah keranjang tergeletak penuh dengan sayur-sayuran segar seperti asparagus, kembang kol, wortel, paprika dan cabe keriting.
Pak Danu membawakan tiga siung bawang merah, sebutir bawang bombai dan beberapa buah cabe merah keriting. Pria itu meletakan semuanya tepat di atas meja. Beberapa mangkok kecil dan sebilah pisau tergeletak di sana. Nina memandang benda-benda itu dengan tatapan ngeri seperti orang yang mengidap phobia terhadap bumbu dapur.
“Kupas bawang itu lalu iris tipis cabe keritingnya!” Pak Danu melipat tanganya ke dada. Memperhatikan Nina seperti sikap seorang kepala chef pada para asistennya. Dengan pelan Nina mulai mengupas bawang merah. Sesaat kemudian, air matanya mulai menetes. Hawa bawang merah membuat panas dan perih matanya.
“Mata Nina perih, Yah!” Gadis itu menghentikan kupasan bawangnya sesaat, mengejap-ngejapkan mata.
“Jangan lupa! Cabenya diiris tipis.”
Dengan sedikit menahan perih, Nina mengerjakan apa yang diperintahkan oleh sang ayah. Ia kembali memegang pisau lalu perlahan mengiris cabe. Hanya menunggu beberapa detik, Nina kembali mengeluh, tangannya panas seolah terbakar. Namun lelaki itu tak berkomentar apa-apa. Bahkan sebaliknya, sepanjang hari lelaki itu mengajarkan Nina teknik presto, au bain marie[1] dan pembuatan brownies kukus.
Hari itu, semua resiko yang Nina takutkan ketika memasak telah ia alami. Dari mata perih ketika mengupas bawang, rasa panas mengiris cabe, uap panas dari proses presto dan teknik au bain marie. Ada sensasi lain saat ia melakukan semua itu. Sebuah pengalaman baru. Namun, Nina tidak menyadari sedikit pun apa yang telah diajarkan pak Danu dalam memasak. Ia hanya menganggap ayahnya sekadar mengajarkan cara mengolah makanan dengan baik dan benar. Setidaknya, ia menganggap sebagai bekal untuk meneruskan usaha sang ayah, mengelola mini resto yang selama ini telah dirintis lelaki itu.
Setelah semua masakan jadi, pak Danu membungkusnya ke dalam kotak-kotak makanan lalu mengajak Nina ke suatu tempat. Sebuah Panti asuhan baru dengan jumlah anak yatim yang tak terlalu banyak. Pak Danu menyuruh Nina membagikan makanan tersebut pada anak-anak yatim yang ada di sana. Mencoba berbagi dengan apa yang telah mereka miliki.    
***
Dunia tak selalu memberi manusia kesempatan untuk mencecap manisnya gula. Juga tak selamanya terus mencecap pahitnya obat. Siklus akan memainkan perannya, memberi anak-anak Adam ruang waktu untuk mengecap manis pahit kenyataan, mengajarkan sebuah filosofi kehidupan, hikmah dan kebaikan. Dan ketika saatnya tiba, manusia akan kembali mencecap manisnya kembang gula, agar mereka bersyukur dengan segala pemberian Sang Pencipta.
Angin sore membelai lembut  kain gorden ruangan rumah sakit. Di pojok ruangan, pak Danu terbaring lemah tak berdaya. Dokter memvonis lelaki itu dengan Meningitis. Nina terpuruk dalam duka. Jiwa muda tak mampu membuatnya berpikir lebih baik tentang hikmah dari sebuah duka dan sakit. Air matanya meleleh saat ia menatap wajah sang ayah yang  terlihat tirus. Di sisi ranjang, Nina terus menemani lelaki itu terbaring lemah. Doa dan harapan selalu ia rajut di  hati yang terdalam.
“Nina … dengarkan Ayah, Sayang”
Nina terdiam sesaat, air mata perlahan menyusut.
“Ayah sudah memberimu sebuah  apron … itu berarti, Ayah sudah menganggap putrinya dewasa. Nina sekarang, bukanlah Nina yang dulu, yang masih suka cokelat atau kembang gula. Ingatkah saat Ayah mengajarimu memasak?”
Nina hanya mengangguk diam, mencoba mengingat kembali masa-masa indahnya bersama sang ayah. Belajar memasak saat ia begitu membenci aktivitas itu.
“Ayah tidak hanya mengajarkanmu sebuah teknik mengolah makanan dengan baik dan benar. Tapi ayah juga mengajarkan sebuah filosofi kehidupan.”
“Memasak dan sebuah filosofi?” Nina mengerutkan keningnya. Pak Danu hanya tersenyum.
“Apa yang kau rasakan saat mengupas bawang dan mengiris cabe?”
“Rasa perih, air mata dan panas, Yah.”
“Rasa perih ketika kau mengupas bawang, rasa panas mengiris cabe sama halnya dengan yang kau alami di keseharianmu. Begitulah kehidupan ini, Nina. Rasa perih, air mata dan panas akan kau dapati saat siklus kehidupan berputar sebagaimana mestinya. Saat itulah kau harus mengambil pelajaran. Mencoba bertahan dan bersabar dengan kemelut yang kau hadapi. Setidaknya kau bisa meminimalisir rasa sedih dan air mata yang keluar dengan perasaan tegar. Hidup di dunia tak selamanya manis, Nina. Adakalanya berubah pahit sesuai garis kehidupanmu.”
“Ingatkah saat ayah ajarkan teknik presto?”
Nina tetap diam, kini ia paham. Sebuah filosofi terselip di sebuah teknik memasak makanan.
“Saat kau bergaul dengan orang-orang yang sombong, keras kepala dan egois, Mereka tak ubahnya tulang tajam dalam daging segar ikan. Kapan pun bisa membuatmu terluka. Namun, kau hanya butuh waktu untuk membuat mereka lunak. Dengan kesabaran dan waktu, mereka akan ramah denganmu. Mempelajari kehidupan, sifat dan memahami kekurangan mereka.”
“Memasak juga mengajarakanmu untuk selalu mengintrospeksi diri. Saat masakanmu dicibir, dicemooh dan dihina, kau harus mengevaluasi bumbu dan caramu memasak. Seperti halnya, saat orang lain menganggapmu salah. Maka, mulailah dengan menginstrospeksi dirimu sendiri. Jangan buru-buru  menyalahkan orang lain, meskipun kau benar.”
“Memasak mengajarkanmu tentang kedisiplinan. Saat kau menjadi seorang chef atau seorang ibu rumah tangga, kau dituntut untuk me-manage time. Mengolah makanan dengan waktu yang pas, tidak over cooking ataupun mentah karena terlalu cepat. Sehingga kau bisa menghasilkan makanan yang enak dan tidak merusak nutrisinya. Tapi, yang terpenting adalah jiwa sosial untuk berbagi. Memasak untuk mereka yang  kelaparan. Dan kau tahu Nina … mini resto yang Ayah kelola setiap harinya membagi-bagikan makanan pada mereka yang membutuhkan.”
Sinar matahari berpendar kala senja meringsut. Filosofi memasak dari sang ayah membuat Nina optimis untuk merajut hari esok. Dukanya belum sembuh, setidaknya ia masih bisa menemani pria itu. Memberikan senyum terbaik, meski hatinya sakit kala menyadari umur lelaki itu terlalu misterius untuk ditebak. Hari ini, adalah hari terbaik yang kau punya. Saat dianugerahi sebuah kesempatan untuk  berbagi, lakukanlah. Karena kau tak tahu, apakah hidup akan terus semanis kembang gula ataukah sepahit jadam.
Untuk ibu dengan pelajaran memasaknya
Raci, 13 april 2015
*Pecandu telapak kaki ibu, rinai hujan, dan diksi ini sangat menggilai kuliner ibunya. Menggandrungi acara gastronomi, traveling, dan film-film horror yang disutradarai James Wan. Peminat buku-buku Andrea Hirata sejak tetralogi Laskar Pelangi diterbitkan. Sekarang giat menulis cerpen dan puisi untuk media. Beberapa cerpennya pernah dimuat di majalah Cahaya Nabawiy. Cerpen ini merupakan salah satu karyanya yang terangkum di antologi cerpen Sahabat Pena (2015).


[1]Istilah ini juga disebut, Teknik pencairan coklat batang dengan memasukan mangkok berisi batangan coklat ke dalam panci yang berisi air panas.

 

admin dalwaberita.com
Media Informasi dan Berita Terpercaya Seputar Ponpes Dalwa

Ulama dan Umaro Bersinergi Demi Keamanan NKRI

Previous article

Dalwa Sukseskan Daurah Insyad Haiah Shofwah Al Malikiyah

Next article

Comments

Leave a reply