How To SantriOpini

Belajar Agama di Luar Pesantren, Apakah Bisa Disebut Santri?

0

Terkadang sempat terlintas di pikiran kita, apakah orang-orang di luar pondok pesantren yang belajar agama dan sekedar ikut Majelis Taklim, bisa dikategorikan seorang santri ?

Atau hanya sebatas mereka yang berada di pondok pesantren saja?

Memang, pendidikan agama bagi seorang santri merupakan tujuan utama dalam proses belajar mengajarnya dalam memahami dan bisa mempraktekkan agama dalam kehidupannya sehari-hari. Namun, apakah untuk menggali itu semua dibatasi oleh tempat?

Jika kita melirik ke ulama-ulama terdahulu, bahwa banyak dari mereka yang belajar secara berpindah-pindah tanpa menetap di suatu tempat. Bahkan, mereka berpindah-pindah dari satu negara ke negara lainnya yang dikenal dengan istilah rihlah ilmiyah.

Salah satu tokoh paling menonjol dalam hal ini adalah Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi‘i (w. 204 H), pendiri mazhab Syafi’i. Beliau bukan hanya dikenal karena kepakarannya dalam fikih, tetapi juga karena semangat rihlah ilmiahnya yang luar biasa. Imam Syafi’i memulai perjalanan ilmunya di Makkah, tempat ia menghafal Al-Qur’an sejak kecil dan mendalami hadis serta bahasa Arab dari ulama Hijaz. Kemudian, ia menuju Madinah untuk berguru kepada Imam Malik bin Anas (w. 179 H), tokoh utama mazhab Maliki dan penulis al-Muwaththa’, kitab hadis dan fikih terkenal pada masa itu.

Rihlah ilmiah atau perjalanan menuntut ilmu menggambarkan betapa terbukanya dunia keilmuan dalam Islam. Ilmu itu nggak dibatasi oleh tempat atau tembok lembaga justru berkembang karena perjalanan, perjumpaan, dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Para ulama besar zaman dulu tidak serta merta menjadi ulama hanya karena mereka menetap lama di satu tempat. Mereka menapaki jalan panjang, berpindah-pindah dari satu guru ke guru lainnya, memperluas sudut pandang pendapat, dan terus memperkaya pemahaman mereka seiring waktu.

Semangat rihlah ini juga menunjukkan bahwa dalam Islam, ilmu bukan milik satu golongan, satu mazhab, atau satu tempat saja. Ilmu terbuka bagi siapa pun yang sungguh-sungguh mencarinya, yang punya semangat belajar, dan niat yang tulus. Ini penting banget buat kita sekarang: jadi ulama atau santri bukan soal menetap di Pondok Pesantren saja , tapi soal kemauan untuk terus belajar, terbuka terhadap perbedaan, dan berani menempuh perjalanan baik secara fisik maupun ta’lim.

Tak berhenti di situ, Imam Syafi’i melanjutkan perjalanannya ke Yaman, lalu ke Irak (Baghdad), pusat intelektual Islam saat itu, di mana ia berinteraksi dengan pemikiran mazhab Hanafi dan menulis banyak karya awalnya di sana. Di akhir hayatnya, ia menetap di Mesir, menyusun ulang pandangan-pandangan fikihnya yang dikenal sebagai qaul jadid (pendapat baru), sebagai hasil pengamatan dan perkembangan pemikirannya yang terus berevolusi.

Akan tetapi, perlu diketahui bahwa mereka berpindah-pindah tempat untuk mencari ilmu agama dikarenakan para alim ulama pada masa itu yang terpisah-pisah sehingga ilmu tidak berpusat di suatu tempat.

Meskipun demikian, tidak dapat kita pungkiri bahwa kebanyakan ulama besar dalam sejarah Islam justru lahir dan berkembang melalui proses pendidikan yang panjang di pesantren atau lembaga keilmuan tradisional. Salah satu contohnya yang paling masyhur adalah Imam Abu Hamid al-Ghazali (w. 505 H). Beliau merupakan seorang tokoh yang mengusai berbagai ilmu pengetahuan seperti menguasai fikih, kalam, filsafat, tasawuf, dan bahkan logika yang semasa hidupnya meninggalkan pengaruh luar biasa dalam dunia pemikiran Islam.

Imam Al-Ghazali menjalani masa belajarnya di Madrasah Nizhamiyyah di Naisabur, sebuah institusi pendidikan tinggi yang didirikan oleh perdana menteri Nizham al-Mulk dan menjadi pusat intelektual terkemuka pada masa itu. Di sana, ia berguru kepada Imam al-Haramain al-Juwaini (w. 478 H), seorang pakar besar dalam mazhab Syafi‘i dan ilmu kalam. Beliau menetap selama sekitar 5–6 tahun di bawah bimbingan langsung gurunya masa yang tidak singkat dan menunjukkan bahwa kedalaman ilmu memerlukan ketekunan, ketundukan, dan kesabaran dalam proses belajar. Sebenarnya belajar ilmu agama bukan tentang tempat tapi tentang semangat.

Dimanapun ia belajar, jika ia memiliki semangat yang tinggi maka ia akan mendapatkan ilmu agama dan bisa mengamalkannya dalam keseharian.

Namun, perlu diketahui di zaman sekarang sebagaimana kita lihat realita yang terjadi, banyak orang yang belajar tanpa melihat kepada siapa ia belajar.

Oleh karena itu, seseorang yang ingin belajar mempelajari ilmu agama hendaknya memilih dan memilah seorang guru untuk mendidik dan menanamkan ilmu agama, terlebih jangan sampai ketergantungan atau hanya belajar dari media sosial khususnya yang berkaitan dengan hukum syariat Islam yang belum jelas akan sumber dalilnya atau bahkan sengaja diubah oleh orang yang ingin merusak Islam.

sehingga  pondok pesantren lah, pilihan terbaik saat ini bagi seseorang yang ingin belajar ilmu agama. Terlebih bagi mereka yang memiliki lingkungan  kurang baik dan untuk menghindari fitnah akhir zaman yang sedang bergejolak, karena di pondok pesantren para guru akan mendidik, mengawasi, dan berusaha memahamkan syariat Islam dengan benar.

Karena di Pesantren santri diajarkan akan banyak hal terutama akhlak dan etika yang mulia, sehingga ilmu agama bukan sekedar materi yang dipelajari namun diterapkan dalam kehidupan sehari-hari demi menuju ridho Ilahi. (Erwin/red)

 

admin dalwaberita.com
Media Informasi dan Berita Terpercaya Seputar Ponpes Dalwa

Kembangkan Minat dan Wawasan! HMPS SPI Adakan Program Literasi dan Musyahadah Tentang Sejarah

Previous article

Musyawarah Fiqhiyah Bulanan El-Mufiq Dalwa: Kupas Hukum Bersalaman dengan Bukan Mahram

Next article

Comments

Leave a reply