google-site-verification=p9qJozFAxhzGe34ILd9HveIilttSs1WdWWvHElDe9Xg
Bahasa ArabMenuju Hari Bahasa Arab SeduniaOpini

Sejarah Perkembangan Kamus arab-Indonesia di Nusantara

0

Ada satu benda yang sering dibiarkan berdebu, tempatnya di rak buku tapi tak pernah tersentuh. Cukup 1 kata “Kamus” yang merujuk pada benda paling sering berdebu di rak kita, pertanyaannya seberapa sering kita buka kamus ?

Kamus sering dilupakan , jangankan dibaca, dibuka saja sudah jarang. Padahal, di balik buku tebal yang tampak sederhana itu, ada sejarah panjang terutama kamus Arab-Indonesia yang tumbuh bersama perjalanan panjang Islam di Nusantara.

Bahasa Arab tidak turun dari langit langsung masuk ke Indonesia. Bahasa mulia ini datang perlahan, bergandengan dengan masuknya agama Islam. Masyarakat Nusantara mengenal bahasa Arab sebagai bahasa agama, bahasa shalat, bahasa kitab kuning. Tak heran jika Abdul Mu’in pernah berkata, “Bahasa Arab dikenal di Indonesia sama tuanya dengan dikenalnya Islam.” Sebegitu melekatnya hubungan antara keduanya.

Dalam kajian leksikografi, kamus memiliki ragam bentuk dan karakter yang dapat ditinjau dari berbagai sisi. Secara umum, kamus dapat dilihat dari ruang lingkup isinya, penggunaan bahasa, sifatnya, ukurannya, serta ciri-ciri khusus yang dimilikinya. Dari segi ruang lingkup isi, kamus terbagi menjadi dua, yakni kamus umum dan kamus khusus.

Kamus umum memuat berbagai topik kosakata yang digunakan dalam suatu bahasa secara luas, sementara kamus khusus hanya memuat kosakata dari bidang tertentu sesuai kebutuhan penggunanya.

 

Kamus khusus ini memiliki beberapa bentuk. Di antaranya adalah kamus istilah, yang berfungsi menjelaskan istilah-istilah khusus dalam bidang keilmuan tertentu; kamus etimologi, yang menguraikan asal-usul kata beserta makna dasarnya; kamus peribahasa, yang menjelaskan maksud dan penggunaan peribahasa; serta kamus kata nama khas, yang memuat nama tempat, tokoh, institusi, dan sejenisnya.

 

Jika ditinjau dari sifatnya, kamus terbagi menjadi kamus standar dan kamus non-standar. Kamus standar adalah kamus yang diakui secara luas dan memuat kosakata baku dalam suatu bahasa.

Adapun kamus non-standar memuat kata-kata yang belum atau tidak termasuk dalam kategori kosakata baku, namun tetap digunakan dalam konteks tertentu di masyarakat.

 

Berdasarkan penggunaan bahasanya, kamus dibedakan menjadi kamus ekabahasa, kamus dwibahasa, dan kamus aneka bahasa. Kamus ekabahasa menggunakan satu bahasa yang sama, baik untuk entri maupun penjelasannya.

Kamus dwibahasa menggunakan dua bahasa, yakni bahasa sumber dan bahasa sasaran sebagai padanan makna. Sementara itu, kamus aneka bahasa menggunakan tiga bahasa atau lebih secara bersamaan.

 

Adapun dari segi ukurannya, kamus dapat dibagi menjadi kamus mini, kamus kecil, dan kamus besar. Kamus mini, yang kerap disebut kamus saku, berukuran kecil dan mudah dibawa, dengan ketebalan umumnya kurang dari dua sentimeter.

Kamus kecil memiliki ukuran yang lebih besar dari kamus saku, namun tetap praktis untuk dibawa ke mana-mana. Sementara itu, kamus besar memuat leksikal suatu bahasa secara lengkap dengan penjelasan makna yang rinci, sehingga ukurannya besar dan kurang praktis untuk mobilitas.

 

Perkembangan perkamusan bahasa Arab di Indonesia sendiri berlangsung melalui proses yang panjang dan bertahap. Para ahli membaginya ke dalam beberapa periode, yang masing-masing mencerminkan kebutuhan umat Islam Indonesia dalam memahami bahasa Arab, khususnya dalam konteks pendidikan, keilmuan, dan pengkajian khazanah Islam.

 

Penelitian-penelitian awal menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara sekitar abad pertama Hijriah (abad ke-8 Masehi) sebagaimana hasil Seminar Masuknya Islam ke Indonesia di Medan tahun 1968. Namun meski bahasa Arab sudah dikenal sejak awal, dunia perkamusan Arab di Indonesia justru berkembang sangat lambat.

 

Saat seseorang ingin mempelajari bahasa baru, kamus adalah alat paling mendasar. Dan bahasa Arab, dengan koleksi kosakata yang jumlahnya seperti “samudra, jelas butuh alat bantu yang rapi dan terstruktur. Tapi faktanya, kamus Arab di Nusantara baru muncul beberapa abad setelah Islam berjaya di sini, dan itupun berawal dari kamus Arab-Melayu, bukan Arab – Indonesia.

Kamus, merupakan istilah untuk khazanah yang memuat penbendaharaan kosa-kata suatu bahasa. Kalo kita mau membuka kembali lembaran sejarah perkembangan kamus bahasa arab itu terbagi ke dalam 2 periode  yang dimulai periode kamus arab-melayu dilanjutkan kamus arab-Indonesia.

Pertama, kamus arab-melayu. Ditemukan pada abad 19 dengan adanya 3 buah kamus yang banyak beredar di Indonesia pada saat itu : kamus al-inarah al-tahzibiyah, kamus idris al-marbawi dan kamus al-zahabi, yang secara tidak langsung ketiga kamus inilah yang melatar belakangi perkembangan kamus arab-Indonesia.

Kedua, kamus arab-Indonesia. Periode ini dimulai dengan munculnya kamus yang dipelopori oleh mahmud yunus pada tahun 1972, yang menjadi faktor bermunculannya berbagai macam kamus dengan beragam bentuk. Diantaranya kamus Indonesia-arab al-kalali dan kamus al-Munawir.

Bahkan perkembangan ini tak terbatas hanya pada kamus dwibahasa ( 2 bahasa) karena telah di temukan kamus multibahasa ( 3 bahasa) serta dengan pertumbuhan teknologi yang pesat berkembang beralih dari kamus fisik ke kamus online yang bisa di akses melalui internet.

 

Meski aplikasi penerjemah semakin canggih, para pengajar bahasa Arab menilai bahwa kamus cetak masih memiliki tempat istimewa dalam proses belajar.

Di balik halaman-halamannya, kamus tidak hanya memberikan arti kata, tetapi juga kedalaman makna yang dibutuhkan untuk memahami teks agama dan karya ilmiah secara tepat.

Di era digital ini, kehadiran kamus justru menjadi pelengkap penting di tengah derasnya arus terjemahan cepat yang sering kali kurang akurat.

 

Bahasa Arab punya ciri khas yang tidak ditemukan di banyak bahasa lain: satu kata bisa melahirkan banyak turunan, dan satu harakat saja dapat mengubah sebuah kalimat dari pelaku menjadi korban.

Itulah sebabnya para ulama menyusun kamus untuk menjaga ketepatan makna, terutama dalam memahami teks Al-Qur’an dan hadits.

Karena itulah hal ini menegaskan bahwa kebutuhan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara benar menjadi salah satu alasan utama kamus lahir.

Maka, bagi siapa pun yang belajar agama, kamus bukan tambahan, tapi kewajiban. Mesin penerjemah bisa memberi arti cepat, tetapi tidak bisa menjelaskan akar kata, pola kata, maupun perbedaan makna klasik dan modern.

Lebih jauh lagi, kamus adalah alat yang mengajari kita cara berpikir. Dalam bahasa Arab, memahami akar kata (fi’il madhi) adalah kunci membaca kitab kuning.

Kamus mengajak kita menelusuri bagaimana kata terbentuk, apa maknanya, dan bagaimana bisa berubah dalam berbagai konteks. Inilah kedalaman yang tidak bisa diberikan teknologi. Dan perlu diingat bahwa kamus karya Mahmud Yunus, Al-Marbawi, hingga Al-Munawwir bukanlah proyek biasa semuanya lahir dari penelitian panjang, perjuangan di pesantren, dan upaya besar para ulama Nusantara agar anak-anak Indonesia bisa memahami teks Arab dengan benar.

Pada akhirnya, memiliki kamus berarti menghargaii ilmu. Kamus adalah jembatan yang menghubungkan kita dengan ratusan tahun kerja keras ulama yang menyaring makna demi makna agar tidak hilang ditelan zaman.

Jadi, mungkin setelah tahu sejarah kamus ini, kita akan lebih menghargai “benda berdebu di rak itu”. Bahkan mungkin siapa tahu jadi lebih rajin membukanya.

Daffa/red

admin dalwaberita.com
Media Informasi dan Berita Terpercaya Seputar Ponpes Dalwa

HMPS PBA UII Dalwa Gelar Seminar Bahasa Arab Sedunia

Previous article

Persahabatan Bahasa Arab Dan Indonesia

Next article

Comments

Leave a reply