Saat ini kita telah memasuki bulan Safar. Bulan Safar merupakan bulan kedua dalam kalender hijriyyah. Sebagian umat Islam meyakini bahwa Safar adalah bulan sial atau bulan bencana. Padahal, mitos bahwa bulan Safar sebagai bulan sial ini sebenarnya sudah dibantah oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyatakan bahwa bulan Safar bukanlah bulan sial.
Dengan hadits beliau yang bersabda:
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ، وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُومِ كَمَا تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ
Artinya: Tidak ada wabah (yang menyebar dengan sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula tanda kesialan, tidak (pula) burung (tanda kesialan), dan juga tidak ada (kesialan) pada bulan Safar. Menghindarlah dari penyakit judzam sebagaimana engkau menghindar dari singa. (HR al-Bukhari).
Syekh Abu Bakar Syata ad-Dimyathi (wafat 1302) mengatakan, hadits di atas ditujukan untuk menolak keyakinan dan anggapan orang-orang jahiliah yang mempercayai setiap sesuatu dapat memberikan pengaruh dengan sendirinya, baik keburukan maupun kebaikan. Selain itu juga menolak setiap penisbatan suatu kejadian kepada selain Allah. Artinya, semua kejadian yang terjadi murni karena kehendak Allah yang sudah tercatat sejak zaman azali, bukan disebabkan waktu, zaman, dan anggapan salah lainnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun menyangkal kesialan bulan Safar dengan beliau melangsungkan pernikahan dengan Sayyidah Khadijah dan beliau juga menikahkan putri kesayangan beliau Sayyidah Fathimah Az-Zahra dengan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Kwh.
Kenapa Bisa Disebut Bulan Sial?
Kesialan bulan Safar sendiri sebenarnya sudah menjadi kepercayaan yang ada sejak zaman Jahiliyah. Namun masing-masing orang yang mempercayai akan adanya kesialan atau bala’ di bulan Safar ini juga berbeda pendapat tentang apa yang menyebabkan bulan ini dikaitkan dengan bulan sial.
Adapun yang paling umumnya adalah karena adanya tradisi di hari Rabu terakhir bulan Safar yang bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Addairabi dalam kitabnya Mujarabat Ad-Dairabi, sebagaimana disebutkan juga dalam kitab Kanzun Najah Was-Surur: seorang ahli kasyaf berkata, “Dalam setiap tahun turun 320.000 bencana. Semua itu terjadi pada hari Rabu terakhir di bulan Safar.
Selain itu bulan Safar juga dikaitkan dengan bulan sial atau bala’ lantaran dijelaskan awal sakitnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam terjadi di hari Rabu terakhir di bulan Shafar, yang disebut juga Arba’ Mustamir. Selama 12 hari berturut-turut Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. sakit, kemudian beliau wafat pada tanggal 12 Rabiul awal. Pada awal sakitnya, yaitu hari Rabu terakhir bulan Safar, saat sakitnya beliau berpesan kepada Sayidina Abu Bakar,
“Bersegeralah bersedekah, karena bala’ dan musibah tidak bisa mendahului amal sedekah,”
Latar Belakang Nama Bulan Safar
Mengutip laman NU Online, Di balik penamaan bulan Safar ada alasan khusus, sebagaimana disampaikan oleh Imam Abul Fida Ismail bin Umar ad-Dimisyqi, atau yang lebih dikenal dengan nama Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H). Dikatakan bahwa dibalik penamaan bulan Safar tidak lepas dari keadaan orang Arab tempo dulu pada bulan ini. Safar yang memiliki arti “sepi” atau “sunyi” sesuai keadaan masyarakat Arab yang selalu sepi pada bulan Safar. Sepi dalam arti senyapnya rumah-rumah mereka karena orang-orang keluar meninggalkan rumah untuk perang dan bepergian.
Imam Ibnu Katsir menjelaskan: صَفَرْ: سُمِيَ بِذَلِكَ لِخُلُوِّ بُيُوْتِهِمْ مِنْهُمْ، حِيْنَ يَخْرُجُوْنَ لِلْقِتَالِ وَالْأَسْفَارِ
Artinya, “Safar dinamakan dengan nama tersebut, karena sepinya rumah-rumah mereka dari mereka, ketika mereka keluar untuk perang dan bepergian.”
Ibnu Manzhur (wafat 771 H), menyampaikan alasan yang lebih banyak. Menurutnya, ada beberapa alasan mendasar di balik penamaan bulan Safar, di antaranya:
(1) sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir; (di bulan ini masyarakat Arab selalu berpergian keluar rumah untuk berpergian atau perang)
(2) orang Arab memiliki kebiasaan memanen semua tanaman yang mereka tanam, dan mengosongkan tanah-tanah mereka dari tanamanan pada bulan Safar; dan
(3) pada Safar orang Arab memiliki kebiasaan memerangi setiap kabilah yang datang, sehingga kabilah-kabilah tersebut harus pergi tanpa bekal (kosong) karena mereka tinggalkan akibat rasa takut pada serangan orang Arab.
Meski secara etimologi Safar berarti kosong, melihat dari beberapa alasan pengosongan yang dilakukan orang Arab diatas, tidak ada kaitannnya sama sekali dengan pengecapan bulan ini sebagai bulan sial; Tidak ada istilah ‘bulan sial’. Yang ada adalah apakah perbuatan kita membawa maslahat atau mudharat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain.Afdillah/red.
Comments