Para pembaca yang budiman, pernah tidak kalian merasa bahwa nasib kalian sudah begini adanya. Tidak bisa diubah meskipun sudah berusaha keras. Sudah bekerja mati-matian akan tetapi situasi tak kunjung membaik, seakan-akan nasib buruk melekat erat pada diri kita, sehingga kita berpikir hidup cukup sampai di sini saja.
Pada saat itu kata “Ya Sudahlah” sangat tepat untuk mengakhiri perjuangan yang telah kita lakukan. Bukan itu saja, yang lebih buruknya lagi, mereka yang menyerah akan mengambil jalan pintas yang telah terkenal keburukannya, seperti mengadu pada “orang pintar” atau bahasa kasarnya dukun, mulai melakukan pekerjaan yang dilarang oleh agama dan hukum yang berlaku.
Ketika saya bertanya pada Mbah Google, iya mengatakan bahwa “Lebih dari 90 persen orang yang bunuh diri memiliki gangguan mental, seperti depresi, gangguan bipolar, atau diagnosis lainnya. Penyakit kronis, penyalahgunaan zat, trauma kekerasan, faktor sosial ekonomi, hingga putus cinta pun umum menjadi pendorong keinginan bunuh diri.”
Yang perlu kita garis bawahi pada perkataan Mbah di atas adalah bunuh diri terjadi pada orang yang mengalami depresi, trauma, masalah sosial ekonomi dan putus cinta. Akan tetapi jika diringkas lagi, bunuh diri dilakukan oleh mereka yang menyerah pada hidup, menyerah pada usaha yang tak membuahkan hasil, menyerah terhadap keadaan yang tak kunjung membaik, bahkan kisah cinta yang tak berbuah manis.
Padahal, dalam agama kita, agama Islam, menyerah adalah perbuatan yang tercela, sehingga tidak pantas orang muslim melakukan perbuatan tersebut. Bahkan, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kita untuk berputus asa.
Ungkapan ini terdapat di dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 53 yang berbunyi:
قُلۡ يٰعِبَادِىَ الَّذِيۡنَ اَسۡرَفُوۡا عَلٰٓى اَنۡفُسِهِمۡ لَا تَقۡنَطُوۡا مِنۡ رَّحۡمَةِ اللّٰهِ ؕ اِنَّ اللّٰهَ يَغۡفِرُ الذُّنُوۡبَ جَمِيۡعًا ؕ اِنَّه هُوَ الۡغَفُوۡرُ الرَّحِيۡمُ
“Katakanlah olehmu (Muhammad) “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sungguh, Dialah Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Itulah yang difirmankan oleh Allah subhanahu wa Ta’ala. Pembaca yang budiman mungkin pernah melihat dengan mata kepala sendiri atau di media yang memberitakan seorang muslim mengalami depresi hingga melakukan bunuh diri. Mengapa demikian, padahal Allah telah melarang mereka untuk berputus asa?
Jawabannya ternyata cukup sederhana. Pada hakikatnya, semua manusia memiliki kadar keimanan yang berbeda-beda. Alhasil, berbeda pula kadar tawakalnya. Akhirnya, beda pula sikap atau respon ketika diberi ujian oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Memang tak ada makhluk yang sempurna nasibnya. Manusia tak selalu mujur dan bejo. Kadang ia harus dihadapkan dengan pahitnya hidup. Bukan untuk mereka tumbang apalagi agar mereka berhenti berjuang. Akan tetapi mereka mengalami pahit agar mereka tumbuh dan berkembang. Sebab, manusia belajar dari pengalaman dan kesalahan. Jika tidak pernah gagal, mereka tak akan tahu cara untuk bangkit dan mencoba lebih baik lagi.
Di sisi lain, terdapat hikmah yang mesti kita sadari ketika kita dilanda musibah. Memang yang namanya musibah itu tidak menyenangkan. Akan tetapi, ada kabar gembira dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
مَا مِنْ مُصِيبَةٍ تُصِيبُ الْمُسْلِمَ إِلاَّ كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا عَنْهُ حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا.
Artinya:
“Tidaklah suatu musibah yang menimpa seorang Muslim melainkan Allah akan menghapus (dosa orang itu) dengannya, bahkan duri yang menyakitinya sekalipun.” Hadits Sahih Riwayat al-Bukhari: 5209
Berangkat dari hadist tersebut, musibah pun bisa kita anggap sebagai nikmat, karena bisa menghapus dosa. Jika kita telaah lagi musibah atau yang sering dikatakan artis sinetron “cobaan” membuat kita menjadi insan yang sabar dan lebih kuat.
Pembaca yang budiman, cobaan pasti ada, mushibah sudah pasti terjadi karena Allah yang menghendaki. Memang kita tidak bisa menghindari, tapi kita bisa menyikapi. Tentunya dengan bijak, dengan sabar dan tentunya ikhlas dengan apa yang sudah menjadi ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala.
Ada petuah bijak yang mengatakan “Hidup itu pasti penuh dengan cobaan. Jika tak ingin tertimpa cobaan, ya jangan hidup.” Petuah tersebut juga kita harus pikirkan secara bijak. Wahai pembaca yang budiman, petuah tersebut bukan untuk membuat kita menyerah karena pasti ada cobaan. Akan tetapi, kita diminta untuk menyiapkan diri untuk memberikan respon yang bijak jika memang dilanda cobaan.
Apa yang terjadi pada pembaca hari ini, bukanlah untuk membuat pembaca pasrah dan berpangku tangan terhadap keadaan. Cermatilah! Kata “Ya sudahlah” tidak tepat jika keluar dari mulut kalian. Kenapa? Tentunya itu hanya hari ini, paling mentok ya besok atau lusa, dan itu pun jika kalian dapat menyikapinya dengan arif dan bijak.
Jangan mengatakan “Ini sudah nasib.” Bukan! Keadaan bisa berubah jika kita mau memperjuangkannya. Kita memang miskin hari ini, tapi besok? Lusa? Atau hari setelahnya tidak ada yang tahu kecuali Allah.
Sekarang kita miskin, kita depresi, kita patah hati, tapi kita tak boleh menyerah, karena ada hari esok yang harus kita perjuangkan, ada nasib yang harus kita ubah, ada hati yang harus kita bahagiakan. Pertanyaannya, apakah kita mau memperjuangkan diri kita yang sekarang?Gustiawan/red.
Comments