Oleh: Afinisme Author
Bau busuk menebar di udara, menyatu dengan bau basah hujan yang turun perlahan. Suasana tempat pembuangan akhir terlihat sepi. Hanya ada satu mobil yang menurunkan tumpukan sampah. Para pemulung tidak banyak seperti biasanya, mungkin hawa dingin dan rasa malas yang membuat mereka mengurungkan niat untuk mencari sesuap nasi di tengah limbah busuk tersebut.
Di kejauhan, dua anak kecil terlihat sibuk. Tangan-tangan mungil mereka mencoba mengais-ngais sampah dengan ranting kecil. Mencari sesuatu yang masih bisa dimanfaatkan.
“Kak… lapar,’’ ucap gadis kecil itu pada kakaknya hampir tak terdengar. Sesekali ia memegang perutnya.
“Sebentar lagi, Dik … plastik bekasnya masih sedikit,’’ jawab sang kakak dengan nada berat. Sesekali terdengar helaan nafas dari mereka berdua.
Dita dan Dito, adalah sebuah potret di antara ribuan potret kehidupan anak manusia yang dibelenggu kemiskinan. Terlahir sebagai kembar pengantin, dengan latar belakang kehidupan yang amat tragis. Orang tua mereka korban dari kebiadaban para cukong-cukong berdasi, yang berkuasa di atas rakyat miskin. Dua kakak beradik ini sekarang tinggal di gubuk reot, tak jauh dari area tempat pembuangan akhir. Bertahan hidup di antara gundukan sampah.
***
Sore menggantung di lazuardi. Dito melangkah pelan seraya menerka berapa uang yng mereka hasilkan hari ini. Dita mengikuti langkah sang kakak dengan gontai. Tubuh dekil, pakaian compang camping seraya membawa satu karung besar berisi barang-barang plastik bekas.
“Kak… lapar.’’
Kembali Dita merengek seraya memegang perutnya. Kali ini rasa lapar itu telah mengalahkan kesabaran. Air matanya perlahan jatuh, mengungkapkan rasa perih yang tak tertahankan.
“Sebentar lagi Dik … pasti Kakak beliin nasi.’’
Dito merangkul adiknya, mencoba menenangkan meski dia tahu betapa sakitnya rasa lapar itu.
Langkah kaki mereka semakin cepat ketika sebuah rumah kumuh lengkap dengan berbagai limbah plastik yang menumpuk terlihat di ujung jalan. Rumah itu milik pak Kardi, pengepul limbah daur ulang. Di sinilah dua kakak beradik itu menyetorkan hasil keringatnya.
“Plastik bekasnya sedikit sekali, Dito. Bapak hanya bisa ngasih segini ya …’’ pak Kardi menyerahkan dua lembar uang lima ribuan pada Dito.
“Terima kasih Pak,’’ ucap Dito seraya mengajak Dita pergi. Langkah mereka diiringi tatapan prihatin oleh pak Kardi.
“Kasihan …” lirih lelaki paruh baya tersebut hampir tak terdengar.
***
Mata Dita berbinar, ketika melewati depot makan Padang. Berbagai jenis masakan khas Padang menggugah selera, tertata rapi di etalase depan. Matanya terfokus pada sebuah piring yang penuh dengan daging rendang. Dito segera menggamit tangan adiknya untuk segera memasuki warung makan tersebut. Sebelum kaki kirinya menginjak lantai warung, seorang pria paruh baya menghampirinya.
“Hei! Hei! mau apa kalian? Pergi!! Depot ini bukan tempat ngamen apalagi meminta-minta.” Terdengar suara setengah membentak. Nyali kedua anak itu ciut seketika. Perlahan mereka berjalan mundur dan segera meninggalkan tempat itu.
“Lain kali saja ya … Kakak janji bakal beliin Dita daging,” ucap Dito yang hanya dibalas anggukan lemas Dita.
Kala langit temaram, akhirnya dua anak itu hanya membeli sebungkus nasi lengkap dengan sayur pecel dan ikan asin. Sesekali mereka tergelak, larut dalam gurauan canda. Mencoba tertawa meski dunia tak seindah nirwana bagi mereka.
***
Dita sakit, panasnya belum turun dari hari kemarin. Dito hanya bisa duduk di sampingnya. Sesekali ia mengompres Dita dengan handuk basah, berharap panas badannya segera turun. Di sampingnya tergeletak kupon daging qurban yang dibagikan panitia kemarin sore. Dua hari lagi umat Islam kembali merayakan Idul Adha, berqurban untuk sesama. Mencoba meneladani napak tilas Nabi Ibrahim dan Ismail.
Sempat terpikir oleh Dito untuk membelikan baju baru buat Dita. Karena semenjak ditinggal wafat ibunya, Dita hampir tak memiliki baju yang layak untuk dipakai. Jangankan buat beli baju, untuk makan sehari-hari saja mereka harus memulung. Dito terlihat murung, di tangannya terdapat celengan ayam, hadiah dari mendiang sang ibu. Sesekali ia menatap Dita yang terlelap lesu. Panas badannya belum turun sama sekali.
“Braaaaak!” Dito membanting celengan itu. Gumpalan uang kertas dan uang receh berserakan di lantai. Ia kemudian menghitung uang tersebut dengan pelan dan teliti, memastikan tak ada hitungan yang salah.
“Mudah-mudahan cukup …” batinnya seraya merapikan uang tersebut.
***
Aroma daging menyebar, pekat menusuk hidung. Orang-orang berjejal, sibuk mengantri untuk menukarkan kupon dengan sebungkus daging qurban yang dibagi-bagikan oleh pengurus masjid. Idul Adha kali ini lebih semarak dari tahun sebelumnya.
Di antara mereka yang mengantri, tubuh kecil Dito terhimpit di tengah ratusan tubuh orang dewasa. Dengan cucuran keringat, ia berusaha menyerahkan kupon itu pada panitia. Usahanya membuahkan hasil. Satu kantong plastik berisi satu kilo daging sapi ia genggam dengan erat. Seraya berlari kecil, ia berharap segera sampai di gubuk. Memberikan kejutan untuk adik satu-satunya yang kini terbaring lemah tanpa daya.
Ia percepat langkahnya, ketika gubuk reot di ujung tempat pembuangan akhir terlihat. Sesampai di gubuk itu, ia disambut sepi. Tak ada suara ataupun hembusan angin yang biasa masuk menerobos dinding triplek gubuknya.
“Dita … Kakak bawa daging buat kamu.”
Dito mendekati tempat Dita terbaring.
“Kita bikin rendang ya … Kakak juga beliin obat dan baju baru buat kamu.”
Dita hanya diam, tak sedikit pun menjawab apa yang Dito ucapkan. Ada resah yang tiba-tiba menelusup ke hati Dito. Ia tatap Dita seraya menggoyang-goyangkan bahunya. Sama sekali tak ada respon. Matanya tertutup, namun panasnya sudah hilang.
“Dita … bangun Dik… bangun…” Dito merengkuh tubuh adiknya tersebut. Tangisnya perlahan pecah.
“Kakak bawain daging, obat dan baju buat kamu. Bangun dik… ” Dito terisak pilu. Air matanya tumpah ruah bersama kepiluan hati serta beban hidup yang selama ini ia tahan demi adiknya.
“Maafin Kakak ya … Kakak nggak bisa ngasih yang terbaik buat kamu. Bangun Dik … jangan tinggalkan kakak sendirian,” ucap Dito sekali lagi, hampir tak terdengar.
Untuk mereka yang terhimpit di bawah garis kemiskinan
Raci 27 september 2014
Pernah dimuat di Majalah Cahaya Nabawiy
Pecandu telapak kaki ibu, hujan dan diksi ini aktif di tim kepenulisan Pena Dalwa, majalah Al-Bashiroh dan Dalwa berita.
Comments