Pada suatu ketika, saya melihat ada seseorang yang sedang membagi-bagikan hartanya kepada khalayak ramai, dengan nominal yang cukup besar. Dan di hadapannya ada sebuah kamera yang sedang merekam kegiatannya tersebut. Beberapa hari kemudian, ternyata ia mengunggah video tersebut, dan videonya sudah banyak sekali ditayangkan juga diberi apresiasi oleh masyarakat.
Di era digital yang sungguh pesat saat ini, media sosial menjadi sarana untuk kita membagikan kebaikan. Dengan tujuan, ingin menginspirasi dan memotivasi orang lain untuk melakukan hal yang sama.
Namun sangat disayangkan, jika ada seseorang yang memposting foto atau video saat beribadah. Dengan tujuan mendapatkan pujian, komentar positif, atau jumlah like yang banyak.
Atau bahkan, ada seseorang membuat konten tentang kebaikan yang dilakukannya, dengan tujuan mendapatkan pengakuan dan perhatian dari orang lain. Padahal kita sudah mengetahui, bahwa ketenaran adalah sumber dari terjadinya cinta akan dunia.
Pertanyaannya, manakah yang lebih baik, menampakkan kebaikan kita atau menyembunyikannya?
Habib Segaf Baharun telah mengomentari permasalahan ini, dalam buku beliau ‘Terapi Hati & Jiwa’. Beliau menjelaskan, bahwa dalam menyembunyikan amal kita, terdapat manfaat yang terkandung di dalamnya. Yaitu, dia bisa lebih ikhlas dan bisa lebih selamat daripada sifat riya’.
Akan tetapi, di dalam menampilkan sebuah amal ibadah, juga terdapat manfaat, yaitu orang lain bisa menirunya. Hanya saja, di dalamnya ada bahaya yang akan terjadi, yaitu bahaya tersisipnya sifat riya’ di dalam ibadah itu.
Habib Segaf Baharun juga menjelaskan, bahwa riya’ merupakan sifat yang sangat dibenci oleh Allah. Karena seorang yang riya’ seakan-akan menyekutukan Allah. Melakukan ibadah yang seharusnya untuk Allah semata, tapi ternyata digunakan dengan tujuan supaya disebut atau mendapatkan kedudukan di hati manusia.
Berkenaan dengan riya’, Allah telah mewanti-wanti hambanya yang melaksanakan suatu ibadah hanya untuk mendapatkan perhatian manusia. Dalam surat Al-Ma’un Ayat 4-7. Allah swt berfirman:
فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّيْنَۙ (٤) الَّذِيْنَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُوْنَۙ (٥) الَّذِيْنَ هُمْ يُرَاۤءُوْنَۙ (٦) وَيَمْنَعُوْنَ الْمَاعُوْنَ (٧)).
Artinya: “(4) Celakalah orang-orang yang melaksanakan sholat, (5) (yaitu) yang lalai terhadap sholatnya, (6) yang berbuat riya, (7) dan enggan (memberi) bantuan.”
Namun dari semua ini, kita tidak bisa langsung menghakimi, bahwa orang yang membuat konten ibadah itu adalah orang yang riya’. Karena ini semua kembali pada niat masing-masing. Niat itu ada di dalam hati, dan hanya Allah yang benar-benar tau akan hal itu.
Ibnu Sa’d dalam kitabnya, At-Thabaqat Al-Kubra, beliau menjelaskan, bahwa Imam Junaid berkata “Barang siapa yang membuka untuk dirinya pintu niat yang baik, maka Allah akan membukakan baginya 70 pintu-pintu taufiq. Dan barang siapa membuka untuk dirinya pintu niat yang jelek, maka allah akan membukakan baginya pintu-pintu keterlantaran.”
Tidak hanya itu, dalam kitab Manhajus Sawi, karangan Habib Zain bin Sumaith Al-Ba’alawi, beliau menyebutkan bahwa dalam atsar dikatakan “Berapa banyak suatu yang sedikit, menjadi banyak karena niat. Dan berapa banyak suatu yang banyak, menjadi sedikit karena niat.”
Maksud dari atsar tadi adalah, berapa banyak dari amal yang sedikit, menjadi banyak pahalanya kerena niat yang baik. Dan berapa banyak dari amal yang banyak, menjadi sedikit pahalanya karena niat yang jelek.
Jadi, apa yang harus kita lakukan sebelum melakukan ibadah maupun setelahnya?
Habib Segaf Baharun menjawab dalam bukunya, bahwa seseorang yang ingin mengharapkan ridho Allah, seharusnya ia memantapkan hatinya untuk selalu takut diketahui dan disaksikkan ibadahnya oleh orang lain. Sehingga, ibadah tersebut tetap terjaga daripada sifat-sifat yang dapat membatalkan pahalanya.
Kesimpulannya, masalah konten ibadah saat ini, adalah tantangan media sosial, yang mana amal baik bisa dengan mudah jadi tontonan, dan pujian bisa menggoda hati. Perlu digarisbawahi, bahwa mempublikasikan amal dengan tujuan eksistensial dapat merusak esensi ibadah.
Andaikan semua pahala bisa dikumpulkan lewat views, maka Rasulullah sudah menjadi influencer pertama di dunia. Namun nyatanya tidak seperti itu, karena ibadah bukanlah ajang cari panggung atau bahkan ajang branding diri.
Oleh karena itu, ayo kita luruskan niat kita. Selalu tanyakan pada diri sendiri “apakah ini untuk Allah atau untuk terlihat baik di mata manusia?”
Karena yang tulus tidak butuh saksi, cukup Allah yang tau.وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا
(Agustian/red)
Comments