Malam terang. Langit nampak bersih tak tertutupi awan. Bintang-bintang mengukir bebas di angkasa. Angin berhembus lembut. Membelai rambut. Menelisik di sela-sela dedaunan pohon. Bernyanyi bersama gema takbir jalanan.
Malam ini, malam hari raya.
Semua orang nampak bahagia. Berdendang kesana kemari. Bahagia melingkupi mereka. Menyenandungkan gema takbir di seluruh ruas jalan, Pelosok kampung, bahkan di gang-gang sempit sekalipun. Mereka bahagia. Tak ada guratan kesedihan sedikitpun di wajah.
Bertalu-talu takbir didendangkan. Bedug-bedug dipukul. Tangan mereka tiada henti memukul benda itu. Senada dengan suara takbir yang dinyanyikan. Ada pula sebagian takbir dinyanyikan dalam bentuk dangdut. Sebagian pula dalam bentuk qasidahan. Apapun itu semuanya tetap dalam asumsi kebahagian.
Malam penuh kemenangan.
Lihatlah, anak-anak kampung itu. Mereka menari kesenangan. Seakan mereka tak pernah mengenal apa arti sedih. Lihatlah pula bocah-bocah mungil yang berada di panti asuhan pinggiran jalan kampung. Tempat anak-anak tidak beruntung ditampung. Rumah itu bercahaya. Bersinar. Lazimnya rumah-rumah lain yang menyambut hari raya.
Di bagian dalam. Anak-anak berlarian, berebut memamerkan baju baru mereka. Televisi dihidupkan, menyiarkan takbir dari pelosok kampung yang lain. Radio dinyalakan, mengeluarkan bunyi krusak-krusuk. Menyiarkan acara yang sama. Tapi, mereka tak peduli dengan itu semua. Tetap saling berebut kue camilan hari raya. Dorong mendorong. Dan saling tertawa.
Namun sayang seribu sayang. Malam ini, di luar sana. Di luar ruang tengah rumah itu, terdapat seorang gadis mungil. Disaat semua orang diselimuti dengan kebahagiaan. Buncah oleh suka-cita. Malah Ia hanya duduk termenung sendiri di ayunan depan panti. Lihatlah pada mata sayu gadis berusia enam tahun, menyiratkan kesedihan mendalam yang tak semestinya dialami anak sekecil itu. Namanya Salsa, ia sedang duduk sendiri, memeluk boneka beruang bernard warna coklat susu kesayangannya. Berayun-ayun. Maju-mundur. Terhenti. Maju-mundur. Terhenti lagi. Berulang kali seperti itu.
Dikala seharusnya masa anak-anak adalah masa bahagia. Masa penuh dengan bermain.
Masa paling menakjubkan. Masa penuh dengan sejuta cerita. Masa disaat pemahaman tentang hidup dimulai.
Salsa harus menanggung beban cerita hidupnya sendirian. Gadis kecil berambut ikal itu sedang sedih. Ia tak tahu apa arti tentang hari raya. Disaat semua temannya sibuk berceloteh bahagia tentang hari raya. Sibuk memamerkan baju baru. Justru Salsa tak pernah paham dengan arti hari raya.
Salsa mendesah menatap langit malam.
Ia mencari keberadaan-Mu. Yang kata dikata, ada dimana-mana. Yang dikata orang pula, selalu mengabulkan tiap permintaan. Sekarang, Salsa berharap sesuatu. Satu permintaan. Tak lebih. Dan tak kurang. Tapi, ia belum mengerti sepenuhnya. Usianya terlampau jauh untuk memahami masalah serumit ini. Hatinya hanya ingin menangis. Memeluk bonekanya lebih erat kembali. Maka, mata sayu itu, pelan membasah. Meneteskan butiran bening. Melewati pipi mungilnya. Lalu terhenti sejenak. Menggelayut manja di antara dagu. Tak lama kemudian, jatuh terhempas ke bawah. Tepat di bulu beruang yang ia peluk.
Setelah sekian lama menanti jawaban. Salsa akhirnya menunduk. Pegal menanti jawaban yang tak kunjung datang. Sungguh, ia tidak berharap banyak. Ia hanya ingin malam ini, tepat puasanya genap sebulan, ia bercerita bangga pada Ayah dan Bunda. Tidak berharap hadiah ataupun baju baru seperti mereka.
Mengapa, mengapa ya Allah?. Mengapa tidak ada yang bisa memberikan penjelasan atas permintaan se-sederhana itu.
Mengapa ya Tuhan?.
####
Tepat, delapan tahun sebelumnya. Kejadian itu telah ada jauh sebelum Salsa lahir.
Malam penuh dengan suka cita.
Malam yang menjadi momen paling menakjubkan dalam hidup.
Seluruh hadirin bahagia bersama dalam acara itu. Bagaimana tidak, dua kebahagian sekaligus menyelimuti mereka pada malam yang indah. Sebuah kehadiran malam hari raya yang mereka sambut riang ditambah lagi dengan adanya momen tak tergantikan seumur hidup.
Sebuah momentum paling ditunggu seluruh orang.
Ya, resmi sudah malam itu mereka berdua berbai’at di atas janji suci. Berbalut indah dengan senyum kebahagiaan. Mereka berdua telah sah untuk dikatakan sebagai pasangan hidup. Semoga menjadi pasangan yang selalu diberkahi. Betapa tidak, malam ini menjadi malam yang penuh berkah. Sebuah acara pesta pernikahan yang diadakan pada malam hari raya.
Pernikahan itu tepat setelah seminggu mereka saling mengenal. Tak ada yang disengaja. Mendadak mereka bertemu dalam cinta pandangan pertama. Ketika kelasi kapal lelaki itu berlabuh. Membawa rempah-rempah luar pulau untuk dijual. Bertemulah mereka dalam akad jual beli. Lelaki legam berbadan agak besar itu tak terlalu menanggapi omongan wanita di depannya. Ia hanya terpesona pada pandangan pertama. Eh, bukankah cinta pandangan pertama dapat menjadikan seseorang gila? Maka itulah yang terjadi, mereka berdua terpesona oleh pandangan. Hingga akhirnya takdir menuntut mereka ke pelaminan.
Seusai jamuan makan semua telah selesai. Satu persatu tamu undangan mulai izin undur diri. Sejak ba’da maghrib acara itu dimulai. Banyak sekali tamu undangan yang harus disambut. Lelah tak dapat mengalahkan kebahagiaan yang menghias.
Selesai sudah tamu undangan terakhir undur diri. Tersisa mereka berdua dan beberapa pembantu acara. Kedua mempelai tersebut pun memasuki kamar. Sungguh. Begitu memukau. Ruangan itu telah disulap layaknya sebuah hotel terbaik di kota. Bunga bunga bertebaran. Lilin-lilin putih yang mengitari pun mulai menyala. Menambah romantis saja suasana malam itu.
Sesaat, mereka terdiam. Canggung. Tak ada yang berani memulai percakapan. Apalagi saling curi pandang. Mereka tertunduk.
Lima detik berlalu. Senyap.
“Kau tahu, perempuanku. Aku hanya menginginkan satu hal dari dirimu. Tepat, tak lebih dan tak kurang.” Suara itu terkesan wibawa sekali. Baru kali pertama ia mendengar suaminya bersuara.
Kembali senyap mengukung malam yang indah.
Lelaki itu memandang jauh keluar jendela. Menengok indahnya malam dengan hiasan bintang.
“Aku harap, kau dapat melaksanakannya, perempuanku.” Seorang wanita dengan gaun putih anggun sebelahnya hanya dapat mengangguk. Menunggu ucapan suaminya.
“Aku harap, cinta kita, semenjak malam ini, hingga di akhir hayat nantinya. Cinta kita yang berlandaskan atas asma-Nya, akan tetap setia. Saling mencintai apa adanya.”
Wanita anggun itu hanya terdiam. Mengangguk. Diiringi dengan senyuman yang mengembang.
Aih, betapa indahnya malam itu. Janji suci pun terukir. Disaksikan malam hari raya.
Layaknya umpama adegan cerita perwayangan di balai desa. Cerita itu baru bermula. Sungguh. Justru cerita penting itu dimulai ketika mempelai wanita itu mengandung.
Setelah berbulan-bulan menikah, akhirnya wanita itu mengandung. Mengandung sang buah hati, Salsa. Membuat kebahagiaan mereka tambah berlipat-lipat.
Tapi, sayangnya. Kusak-kusuk itu mulai bersuara. Banyak para tetangga menjenguk wanita yang akan menjadi ibu itu. Beberapa orang menanyakan satu dua hal, mengetahui bahwa suaminya bekerja sebagai pelaut. Bukankah pelaut termasuk jenis pekerjaan yang mudah tergoda? Bukankah kelasi kapal jarang untuk pulang? Berbulan-bulan di tempat yang berbeda, dan pelabuhan entah di mana.
Lelaki itu tak pernah tahu, semenjak kapan Istrinya termakan bisikan-bisikan itu. Bukankah selama ini mereka berdua baik-baik saja. Bahkan hingga menemani Istri melahirkan buah hati. Ia mengira bahwa dirinya adalah orang paling bahagia sedunia. Tapi berbeda dengan sang istri. Berbulan bulan menahan diri untuk bertanya, apakah kau masih setia denganku? Apakah di hatimu masih tersisa namaku?
Iya, cerita itu sama persis dengan kisah yang legendaris. Kisah mahsyur dari daratan india. Kisah perjuangan Shinta, gadis rupawan dari kerajaan Wideha. Yang berusaha membuktikan kepercayaan cintanya kepada Rama, pangeran gagah dari kerajaan Kosala.
Duh, betapa rumit kisah itu, jika mengingatnya.
Kapal rumah tangga pun mulai dihujam dengan ombak cobaan. Terombang ambing tak sadarkan diri. Lalu, apa yang harus lelaki pelaut itu lakukan? Apa yang harus lelaki itu jelaskan. Maka ia memilih diam. Bukankah diam adalah emas?
Hingga suatu ketika, tepat pada malam hari raya tahun kedua. Tepat ketika kelasi kapalnya memilih untuk berlabuh. Sebaliknya, justru wanita itu meminta untuk menceraikan dirinya. Awalnya ia hanya bertanya pelan.
“Apakah di hatimu masih ada setitik namaku?” Pertanyaan yang sama terulang kembali.
Lelaki itu bingung. Apa yang harus ia jawab.
“Aku masih mencintaimu, Ratna. Masih. Justru namamu masih terukir jelas.”
Wanita disampingnya menggeleng. Ia tidak percaya. Malah ia berteriak histeris, bilang tidak percaya. Situasi berubah dengan cepat memburuk.
Entah kenapa, semua peristiwa penting terjadi bertepatan dengan malam hari raya.
Sebulan berlalu tanpa hadirnya istri. Ia pergi begitu saja dari rumah. Sangkaan itu makin tebal. Cinta mereka dikalahkan oleh ketidakpercayaan. Berkali kali sang suami menelponnya, mengatakan bahwa buah hati mereka sedang sakit. Ia berharap hal itu akan meluluhkan hatinya untuk kembali. Tidak. Lelaki pelaut itu salah. Justru ia rela mendengar kabar terbetik, bahwa Ratna telah dibawa orang. Salsa malah menangis kencang di kamar. Lelaki itu panik. Sudah seminggu ia merawat Salsa sendiri di rumah. Ia bingung. Situasi berubah menjadi makin menyedihkan. Ayah itu tak becus jadi ayah. Tak becus mengurus bayi. Hingga kemudian Salsa dirujuk ke rumah sakit.
Seminggu berlalu, penyakitnya semakin menjadi. Meski dibantu perawat dan dokter, penyakitnya semakin memburuk.
####
Semenjak peristiwa tersebut, gadis kecil itu tak pernah lagi melihat Ayahnya. Entah mengapa, Ayah tega meninggalkan Salsa sendiri.
Lima detik berlalu tanpa suara. Hanya tangisan dalam diam.
Sekali lagi, Salsa menatap langit. Berusaha mencari jawaban. Jawaban atas permintaan yang begitu sederhana. Jawaban atas segala kesedihannya selama ini.
Mengapa, ya Allah?
Bagaimana mungkin, seluruh kisah bahagia itu berakhir menyedihkan. Tapi, bukankah benar, bahwa pondasi terbesar cinta adalah kepercayaan. Cinta tanpa dilandasi dengan kepercayaan yang utuh, ibaratkan buih di lautan. Ibarat orang yang berjalan tanpa cahaya.
Satu dua kupu-kupu terbang di atas kepala gadis berambut ikal. Indah warna sayapnya. Seindah hati gadis mungil itu. Ia masih menanti jawaban-Mu, ya Rabb.Bintang Eben Rusyd/Red
Comments