Pada sebagian orang, kalimat “aku tidak tahu” merupakan perkataan yang gengsi untuk diungkapkan. Terlebih bagi orang yang merasa dirinya sudah berilmu, rasa gengsi akan menyelimutinya apabila tidak bisa menjawab persoalan yang memang belum ia ketahui. Akibatnya, jawaban yang dikeluarkan adalah perkataan yang masih dikira-kira tanpa tahu benar salahnya.
Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhumengatakan, “Wahai manusia, barang siapa mengetahui sesuatu (dari ilmu) maka katakanlah!, dan barang siapa tidak mengetahui maka katakanlah ‘Allah yang lebih tahu’. Karena bagi orang yang tidak tahu, mengatakan ‘Allah lebih tahu’ termasuk dari pada ilmu.”
Perkataan sahabat di atas sebagai pengingat bahwa setiap ungkapan harus sesuai dengan ilmunya. Menjadi keharusan bagi orang yang mengtahui ilmu untuk menyampaikannya kepada yang lain. Sebab dengan demikian, akan mendorong orang untuk beramal sesuai syariat Nabi Muhammad Saw. Tapi sebaliknya, apabila seseorang tidak mengetahui tentang suatu ilmu, maka katakanlah “aku tidak tahu”. Sebab dengan itu, akan mencegah seseorang dari kesesatan. Selain itu, dengan berkata “aku tidak tahu” tentang sesuatu yang benar-benar tidak diketahuinya maka itu termasuk daripada ilmu. Sebab orang-orang yang lebih tahu tentang hal tersebut akan memberitahunya sampai dia mengetahuinya. Bahkan Rasulullah Saw. pernah beberapa kali menjawab dengan “aku tidak tahu” sampai wahyu datang kepadanya. Jika seandainya wahyu Allah tidak datang, maka beliau memilih untuk diam.
Rasulullah Saw dan orang-orang yang mengikutinya tidak pernah merasa malu untuk berkata “aku tidak tahu”. Karena hal itu bukanlah perkataan yang dapat menurunkan derajat di sisi Allah SWT. Justru dengan kalimat simpletersebut dapat disimpulkan bahwa dia adalah orang yang agung, bertaqwa dan tidak sembarangan dalam bertutur-kata.
Pernah Imam Syafi’I meyaksikan Imam Malik ditanya tentang 48 persoalan dan beliau menjawab ke-32 masalah tadi dengan “aku tidak tahu”, namun hal itu sama sekali tidak menurunkan derajatnya. Selain itu, Imam Syafi’i pernah ditanya tentang jumlah kaki kuda, tapi beliau tidak langsung menjawab. Malah beliau pastikan terlebih dahulu kebenaran jumlah kaki itu dengan menghitungnya, kemudian menjawab “kaki kuda ada empat”. Padahal sudah bukan rahasia lagi tentang jumlah kaki kuda. Anak kecil saja bisa menjawab tanpa menghitungnya terlebih dahulu. Tapi begitulah Imam Syafi’I, beliau tidak akan menjawab suatu persoalan sebelum menelaahnya. Seandainya beliau langsung menjawab tanpa menelaah, bisa saja Allah mengubah jumlah kaki kuda tersebut dengan jumlah yang berbeda dengan pendapatnya sehingga beliau berkata dalam keadaan berbohong.
Dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas rodliyallahu ‘anhuma, “Barang siapa memberi fatwa pada setiap sesuatu yang ditanyakan kepadanya, maka dia adalah orang gila.”.
Jadi, masihkah Anda gengsi mengatakan “aku tidak tahu?.”Atep/red
Comments