Pendidikan yang mempunyai fungsi mencerdaskan bangsa merupakan elemen utama kemajuan suatu negara. Semua negara di belahan dunia terus mencoba berlomba-lomba dalam menciptakan inovasi untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. Mereka rela merogoh kocek yang tak sedikit guna memajukan peradaban bangsa. Tak terkecuali Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jumlah penduduk yang mencapai 265 juta jiwa, Indonesia terus berusaha menggenjot dan berusaha memajukan SDM yang ada. Kegiatan ini sebenarnya sudah berlangsung lama, bahkan sejak pra kemerdekaan. Pendidikan Indonesia yang diawali dengan pengajaran di surau-surau yang langsung didalangi oleh ulama’ terdahulu. Mereka berhasil mencetak kader-kader berkualitas dan mempunyai kredibelitas tinggi yang patut diacungi jempol. Pendidikan yang mengedepankan unsur moral dalam setiap pembelajaran, membuat ilmu yang diterima melekat di sanubari para murid. Pendidikan karakter selalu dijunjung tinggi bahkan melebihi ilmu yang diajarkan. Kedekatan emosi antara guru dan murid tidak hanya sebatas lingkup kelas. Mereka tidak hanya berstatus pengajar tapi pendidik. Dengan kombinasi akhlak, ilmu dan amal, mereka berhasil menelurkan para pejuang bangsa yang ikhlas. Jam pelajaran yang tidak terbatas menjadikan ilmu yang didapatkan benar-benar matang. Penerapan full day school bukanlah hal yang baru. Kita lihat contoh lembaga-lembaga pendidikan yang sudah lama eksis seperti Sidogiri, Tebu Ireng, Ponpes Panji Buduran merupakan tiga dari banyak contoh pusat pendidikan full day school yang masih ada hingga kini. Orang dulu mempunyai misi yaitu tidak hanya sekedar mencerdaskan bangsa, tapi lebih dari itu, bagaimana menjadikan suatu bangsa menjadi negara yang bermartabat.
Sinkronisasi ulama’ dan umaro’ juga sangat berperan penting guna menunjang kualitas pendidikan bangsa. Dan hal ini dibuktikan dengan teks lagu wajib Indonesia yang mengatakan “bangunlah jiwanya bangunlah ragannya”. Ini merupakan bukti adanya korelasi anatara ulama’ dan umaro’. Jiwanya dulu kita bangun karna ketika jiwa sudah terbangun, secara otomatis raga pun juga. Sebenarnya sudah banyak dari teman penulis yang menyinggung masalah ini. Tapi tidak masalah bagi penulis untuk menyinggung kembali sebagai penguat akan realita yang ada. Setelah sekelumit kita mengetahui betapa gigihnya peran guru dalam menggembleng murid-muridnya untuk memprioritaskan moral tanpa menafikan keberadaan ilmu, kita bisa mengacu pada zaman ini sebagai tolak ukur akan sistem pembelajaran yang masih berlaku. Perbedaan signifikan akan kita dapati seiring penelitian tentang metode pembelajaran yang kita lakukan. Fakta menunjukkan bahwa saat ini Indonesia menjadi korban dekadensi moral. Dan ini tidak bisa dielakkan. Sistem pendidikan yang berkali-kali melakukan bongkar pasang kurikulum hingga saat ini belum bisa menjadikan Indonesia sebagai pusat pendidikan dunia. Biaya pendidikan yang memakan dana sebanyak Rp.444.131 triliun atau setara dengan 20 % dari APBN, nyatanya sampai saat ini belum bisa mengangkat mutu pendidikan. Bahkan realita yang terjadi saat ini adalah semakin banyaknya kasus kenakalan remaja seperti tawuran, pesta miras, dan pergaulan bebas lainnya seakan menjadi tradisi remaja untuk mewarnai masa muda mereka. Belum lagi kita dapati para pendidik terpaksa mendekap di jeruji besi karna menghukum muridnya yang salah. Seperti kasus Pak Rahman di Banyuwangi yang di penjara karna memukul kaki muridnya dengan penggaris. Ini merupakan kasus yang sepele dan tidak seharusnya berhadapan dengan penegak hukum. Tapi inilah sekali lagi realita yang ada. HAM yang kurang bersahabat dengan guru membuatnya berpikir dua kali lipat untuk menghukum murid-murid yang melakukan kesalahan.
Semua problematika pendidikan menurut hemat penulis, timbul dari satu masalah. Yaitu mindset yang salah. Cara berpikir yang masih menganggap ilmu adalah nomer satu dan menomor duakan moral membuat pengajar kuwalahan. Bagaimana tidak, seakan murid mendapatkan protex dari HAM dan bebas melakukan apa saja termasuk mengabaikan bahkan melanggar perintah guru. Ketika keadan seperti ini, guru tak bisa berkutik lagi. Seakan yang berhak menentukan jam serta sistem pembelajaran adalah murid. Ditengah bobroknya moral, bagaimana mungkin kita bisa memajukan pendidikan di Indonesia? Mindset yang keliru merupakan kesalahan fatal bahkan bisa dibilang penyakit kronis yang berusaha menggrogoti moral bangsa. Amanat para pendahulu untuk memprioritaskan moral sebagai tendensi utama, sampai saat ini masih belum bisa terlaksana.
Ditengah mewahnya fasilitas pendidikan saat ini, anak bangsa nyatanya masih minim akan karya. Sekedar flash back ke zaman sebelumnya, seperti contoh Imam Bukhori, Suyuthi, bahkan Imam Syafi’I sekalipun, maka kita akan dapati karya-karyanya yang monumental. Padahal, jika kita telisik lebih dalam, maka kita akan temui bagaimana keadaan mereka. Ditengah fasilitas yang sangat sederhana dan serba terbatas tidak menyurutkan semangat mereka untuk menciptakan sebuah karya besar dalam sejarah peradaban manusia. Jadi, sebenarnya tidak ada alasan bagi generasi kini untuk tidak maju seperti mereka. Ditengah fasilitas yang mendukung, seharusnya kita bisa lebih atau paling tidak menyamai produktifitas mereka dalam menorehkan sebuah karya. Bukan hanya terlena dengan fasilitas yang ada.
Kini saatnya kita bertransformasi menuju perubahan pendidikan Indonesia. Marilah kita kembali bercermin kepada para pendahulu dalam masalah penerapan sistem pendidikan. Pesantren hadir untuk menawarkan sebuah gagasan yang mempunyai fungsi tidak hanya mencetak kader berilmu,tapi juga bermartabat. Mindset yang murni dan lurus menjadi alasan mengapa pendidikan yang ada harus meniru sistem pesantren. Sebagai contoh historis, ketika K.H. Hasyim Asy’ari memfatwakan resolusi jihad, beliau memerintahkan kepada segenap muridnya untuk ikut andil didalamnya. Maka sontak dengan semangat berkobar para santri siap mati untuk berjuang demi kemerdekaan NKRI. Lihatlah seberapa tunduknya murid kepada guru. Bahkan nyawanya sekalipun mereka taruhkan demi menjalankan tugas mulia dari gurunya. Seperti yang sebelumnya penulis singgung, peran guru tidak hanya mengajar tapi mendidik. Metode yang diterapkan pesantren, menurut hemat penulis sangatlah cocok di gunakan Indonesia guna mencetak
kader yang tidak hanya berilmu, tapi bermartabat. Penggunaan metode pesantren yang ditawarkan oleh penulis bukan berarti sistem nasional harus berkiblat penuh kepada manhaj pesantren, melainkan harus adanya kolaborasi dan kombinasi yang apik. Sehingga diharapkan dengan kombinasi ini, dapat melahirkan penerus bangsa yang bermoral tinggi, amanat, jujur dan bertanggung jawab. M.Fahri Yahya/Red
kader yang tidak hanya berilmu, tapi bermartabat. Penggunaan metode pesantren yang ditawarkan oleh penulis bukan berarti sistem nasional harus berkiblat penuh kepada manhaj pesantren, melainkan harus adanya kolaborasi dan kombinasi yang apik. Sehingga diharapkan dengan kombinasi ini, dapat melahirkan penerus bangsa yang bermoral tinggi, amanat, jujur dan bertanggung jawab.
Comments