Pada 11 Ramadhan tahun ke-10 kenabian (sekitar tahun 619 Masehi). Ummuna Sayyidah Khadijah Al-Kubra binti Khuwaylid berpulang kehadapan Allah Swt.
Tatkala menjelang ajalnya, di usia 65 tahun, Sayyidah Khadijah Al-Kubra binti Khuwaylid, isteri tercinta Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang sepanjang hidupnya mengabdi kepada Nabi, menyediakan jiwa raganya, bahkan menghabiskan seluruh hartanya untuk dakwah Nabi. Kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang juga suaminya, ia berujar:
“Wahai Rasul utusan Allah, tiada lagi harta dan hal lainnya yang bersamaku untuk aku sumbangkan demi dakwah. Andai selepas kematianku, tulang belulangku mampu ditukar dengan dinar dan dirham, maka gunakanlah tulang-belulangku ini demi kepentingan dakwah yang panjang ini,”

Masjidil Haram tempo dulu
Ya, iman kepada Allah, itulah landasan jiwa perjuangan sayyidah Khadijah. Keyakinan akan kasih-Nya, telah menjadi visi dan misi perjuangannya memniayai perjuangan dakwah awal Islam di bumi nangersang Makkah Al-Mukarramah masa jahiliyyah kala itu. Sebuah jiwa besar sesuai julukannya “Al-Kubra” yang bersandar pada keyakinan tauhidullah menjadikan Sayyidah Khadijah berjuang tanpa takut dan tanpa menyerah, meskipun harus dilakukan dengan susah payah.
Hingga dengan kegairahan akan meraih ridha-Nya, ia memiliki tekad kuat mengawal perjuangan Nabi hingga tuntas. Komitmen inilah yang menjadikannya berani membela Nabi, melawan para penentang dan menanggung penderitaan sekalipun bersama dengan Nabi.
Berkorban adalah bukti cinta dan kesetiaannya kepada Nabi, kepada dakwah Islam,dan kepada Tuhannya. Sebab, tidak ada perjuangan tanpa disertai dengan pengorbanan. Rela berkorban berarti kesediaan dan keikhlasan berjuang tanpa mengharap imbalan, baik bersifat materi, maupun non-materi.
Ya, dialah ibunda Khadijah Radhiyallahu ‘Anha, seorang wanita janda, bangsawan, hartawan, cantik dan budiman. Ia disegani oleh masyarakat Quraisy khususnya, dan bangsa Arab pada umumnya. Sebagai seorang pengusaha, ia banyak memberikan bantuan dan modal kepada pedagang-pedagang dan mengutus orang-orang untuk mewakili urusan-urusan perniagaannya ke luar negeri.
Banyak pemuda Quraisy yang awalnya ingin menikahinya dan sanggup membayar mas kawin berapa pun yang dikehendakinya. Namun selalu ditolaknya dengan tutur kata halus, karena belum berkenan di hatinya. Ia justru mengharapkan sosok yang mampu mengawal diri dan hartanya untuk perjuangan kebenaran. Dan kemudian itulah ada pada sosok Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Bahkan Sayyidah Khadijah sendiri yang mengutus seorang perempuan bernama Nafisah, untuk datang menanyakan kepada Nabi Muhammad.
Lalu Nafisah pun bertanya, “Muhammad, kenapa engkau masih belum berfikir mencari isteri?”
Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam kala itu menjawab: “Hasrat ada, tetapi kesanggupan belum ada.”
Nafisah bertanya lagi: “Bagaimana kalau seandainya ada yang hendak menyediakan nafkah? Lalu engkau mendapat seorang isteri yang baik, cantik, berharta, berbangsa dan sekufu pula denganmu, apakah engkau akan menolaknya?”
Nabi Muhammad menimpali: “Siapakah dia?”.
Nafisah menjawab: “Khadijah!” Nafisah berterus terang. “Asalkan engkau bersedia, sempurnalah segalanya. Urusannya serahkan kepadaku!”
Akhirnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun menikah dengan Sayyidah Khadijah.
Perjuangan Sayyidah Khadijah

Ilustrasi kafilah dagang Arab
Dalam tarikhnya, Ibnu Atsir menulis, “Siti Khadijah adalah seorang niagawati yang mempunyai kedudukan terhormat dan memiliki harta kekayaan besar. Dalam mengelola perniagaannya, ia mempekerjakan kaum pria untuk menjualkan barang-barang dagangannya dengan menerima sebagian dari keuntungan yang didapatnya.
Namun, pebisnis kaya raya itu, lalu menikah dengan seorang pria calon pemimpin besar umat manusia, Sayyidina Muhammad Al-Amin. Allah telah memilih pendamping yang sangat tepat bagi misi-misi besar yang diembannya kelak, seorang wanita terhormat, kaya raya, cerdas, tegas, bijaksana, dan rela mengorbankan hartanya untuk mendukung perjuangan suaminya tercinta. Sayyidah Khadijah adalah profil hartawan muslimah agung yang pengorbanannya sangat sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Ketika suami tercintanya menjauhi dunia untuk berkhalwat dengan Tuhannya, mencari kebenaran hakiki di kesunyian Gua Hira, sayyidah Khadijah tampil dengan penuh pengorbanannya. Disiapkannya seluruh kemampuan yang dimilikinya. Seluruh harta benda miliknya dikorbankan kepada perjuangan suci suaminya untuk membebaskan umat manusia dari kesesatan dan kejahiliyahan. la tidak pernah mengeluh dan menghitung-hitung berapa besar yang dikeluarkannya untuk perjuangan suaminya ketika wahyu telah turun.

Gua Hira, tempat Nabi Muhammad Shallalllahu ‘alaihi Wassalam menerima wahyu
Sayyidah Khadijah adalah bangsawan kaya raya yang telah mengorbankan seluruh miliknya untuk perjuangan menegakkan risalah Islam yang diemban suaminya tercinta, Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Hingga dengan pengorbanannya itu, ia pun rela hidup kelihatannya menderita secara fisik tapi bahagia dalam jiwa, semakin berkurang hartanya secara materi tapi justru semakin banyak pahalanya, seolah meninggalkan kemegahan duniawi tapi justru menuju keindahan ukhrawi. Ia pun rela dan ridha menyediakan rumahnya untuk pusat dakwah Nabi, mengantar makanan ke tempat ibadah Nabi, menenangkan jiwa Nabi manakala ketakutan bertemu Malaikat Jibril kali pertama, yang menyelimuti kegundahan Nabi, serta membiayai perjuangan Nabi hatta ketika diboikot penduduk kafir Quraisy. Dan perjuangan itu dilakukannya hingga akhir hayatnya.

Ilustrasi keluarga Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam diboikot oleh kaum Quraisy
Tiada kata-kata yang lebih indah untuk melukiskan pengorbanan sucinya kecuali kata-kata sang kekasihnya, Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam haditsnya:
Subhaanallaah… Maha Suci Allah, atas cinta suci yang mengalir dalam nafas, jiwa, raga sayyidah Khadijah. Hingga membuat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyetakannya dengan:
“واللهِ، ما أبدلَنِي اللهُ خيْرًا مِنْها: آمَنَتْ بِي حِيْنَ كَفَر الناسُ، وصدَّقَتْني إِذْ كَذَّبَنِي الناسُ، ووَاسَتْنِي بِمَالِها إِذْ حَرَّمَنِي النَّاسُ، ورَزَقَنِي منها اللهُ الوَلَدَ دون غَيْرِها من النِّسَاءِ.”
Artinya : “Demi Allah, Allah tidak memberiku wanita pengganti yang lebih baik daripadanya: dia (Khadijah) beriman kepadaku tatkala orang-orang mengingkariku; dia (Khadijah) memercayaiku ketika orang-orang mendustakanku; dia (Khadijah) membantuku dengan hartanya saat orang-orang tidak mau membantuku; dialah (Khadijah) ibu dari anak-anak yang Allah anugerahkan kepadaku, tidak dari istri-istri yang lain”.
Dan begitulah akhir kata-kata Khadijah kepada suaminya, “Wahai Rasul utusan Allah, tiada lagi harta dan hal lainnya yang bersamaku untuk aku sumbangkan demi dakwah. Andai selepas kematianku, tulang-tulangku mampu ditukar dengan dinar dan dirham, maka gunakanlah tulang-tulangku demi kepentingan dakwah yang panjang ini”.
Maka, sangat layaklah bila Sang Khadijah Al-Kubra, mendapat keistimewaan khusus yang tidak dimiliki oleh wanita-wanita lain yaitu, menerima ucapan salam dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, Tuhan Yang Maha Agung, yang disampaikan melalui malaikat Jibril ‘Alaihis Salam kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Saat itu Malailkat Jibril datang kepada Nabi, dan berkata, “Wahai, Rasulullah, itulah Khadijah telah datang membawa sebuah wadah berisi kuah dan makanan atau minuman. Apabila dia datang kepadamu, sampaikan salam kepadanya dari Tuhannya dan dari aku, dan beritahukan kepadanya tentang (balasan) sebuah rumah di syurga dari mutiara yang tiada keributan di dalamnya dan tidak ada kepayahan.” (H.R. Bukhari).
Semoga kisah perjuangan Sayyidah Khadijah bisa memberikan teladan bagi wanita-wanita Muslimah, yang diharapkan mereka juga dapat menyediakan diri dan hartanya untuk menopang perjuangan suaminya di jalan Allah, mengangkat harkat Islam dan Muslimin. Menggapai kenikmatan abadi selamanya, di syurga jannatu na’im.
Comments