Dunia pendidikan adalah dunia belajar. Dunia belajar dipastikan menyenangkan, karena para siswa atau pelajar dipertemukan dengan teman sebaya, guru yang hebat serta pengetahuan baru yang mana menjadi penunjang masa depannya.
Akan tetapi, bagaimana jika dunia pendidikan itu malah terjadi sebaliknya? Teman yang nakal, guru yang menindas, lingkungan sekolah yang toxik sehingga peserta didik bukannya terbina menjadi penerus bangsa malah menjadi sebab utama hancurnya bangsa.
Kita, masyarakat Indonesia saat ini tahu betul bahwa pengetahuan adalah modal untuk membangun bangsa serta membuatnya lebih maju dari waktu ke waktu. Itulah ekspetasi dan harapan bangsa kita ini. Akan tetapi, harapan tersebut bertolak belakang dengan realita yang terjadi. Kita juga dapat melihatnya dengan mata kepala kita sendiri. Mulai dari tawuran antar siswa, peleehan, kekerasan, penggunaan narkoba dan yang paling dominan adalah kasus perundungan atau bullying.
Ditilik dari internet, media KOMPAS menyatakan bahwa Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima setidaknya 37.381 laporan perundungan dalam kurun waktu 2011 hingga 2019. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.473 kasus disinyalir terjadi di dunia pendidikan. Jika dipresentasikan sebanyak 41 persen dari seluruh murid yang ada di Indonesia menjadi korban perundungan atau bullying.
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Organisation of Economic Co-operation and Development (OECD) dalam riset Programme for International Students Assessment (PISA) pada Tahun 2018 mengungkapkan, sebanyak 41,1 persen murid di Indonesia mengaku pernah mengalami perundungan.
Tentunya 41 persen itu tidak sedikit. Jika kita lihat dari data tahun tersebut maka bisa dipastikan Indonesia pada masa depan, sebanyak 41 persen dari seluruh masyarakatnya tidak akan berkembang dikarenakan trauma yang dialaminya. Padahal 41 persen pelajar itu juga memiliki peran penting, karena tentunya masa depan bangsa kita ini tidak terletak di satu pundak pemuda atau pelajar saja, melainkan seluruh pemuda. Jika kita kehilangan produktifitas dari 41 persen tersebut, bagaimana Indonesia akan berkembang dan maju?
Atau yang lebih parah lagi, 41 persen tersebut tumbuh berkembang menjadi penjahat. Bukan hanya Indonesia menjadi tidak berkembang, bahkan Indonesia akan mengalami kemunduran hingga keterpurukan, serta tidak menutup kemungkinan negara kita akan memiliki kasus pidana terbesar di seluruh dunia.
Mengapa demikian?
Sebagaimana yang kita tahu bahwa bullying tidak hanya dilakukan secara fisik, melainkan secara verbal atau secara lisan. Tentu keduanya sangat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan mental seorang siswa. Jika ia tinggal dan tumbuh di lingkungan yang bersih dari kerusakan moral, maka ia akan tumbuh dengan mental yang sehat. Begitu juga sebaliknya jika ia tinggal di lingkungan yang toxict dengan moral yang minim, ia juga akan tumbuh menjadi seperti orang yang ada di sekitarnya.
Jika pernah mendengar pepatah “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti”, maka bullying inilah jawabannya. Jika siswa sudah menjadi korban perundungan, ia tidak hanya terluka secara fisik, tetapi juga secara psikis. Biasanya korban ini mengalami depresi dan bisa juga berakibat gangguan jiwa. Jika pernah melihat film Batman, maka akan tampak sosok Joker yang merupakan villain dari super hero tersebut. Beberapa tahun kemudian seorang produses film membuat film tersendiri untuk mengisahkan asal usul sang Joker.
Dalam film tersebut mengisahkan masa lalu si Joker yang kerap mengalami perundungan dari masyarakat, sehingga mengalami gangguan psikis dan tumbuh menjadi Joker yang kita tahu. Jadi istilah atau pepatah yang megatakan “orang jahat adalah orang baik yang tersakiti” itu benar adanya.
Selain gangguan psikis, korban juga kerap mengalami trauma sehingga berdampak pada lingkup sosial dan presatasinya. Pasalnya, trauma yang mereka alami dengan diiringi sakit fisik maupun batin membuat mereka menjadi personal yang menutup diri dari hayalak umum. Hal itu disebabkan oleh perasaan minder atau tidak percaya diri, akibatnya ia sangat sulit untuk berbaur dengan orang lain.
Selebihnya, peserta didik yang menjadi korban ini menjadi takut dan menganggap sekolah merupakan tempat yang menyeramkan. Dampaknya, ia jarang masuk kelas dan tidak mengikuti pelajaran, sehingga hal ini berdampak buruk terhadap prestasi akademiknya.
Jika hal ini terus berlanjut, dapat dipastikan masyarakat Indonesia ke depannya tidak akan menjadi masyarakat yang produktif. Padahal, KEMENKO PMK (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) menetapkan cita-citanya untuk Indonesia tahun 2045 mendatang akan menjadi Indonesia Emas, karena sebanyak 84,4 juta penduduk Indonesia saat ini merupakan pemuda berusia di bawah 18 tahun. Pemuda inilah yang diharapkan untuk membawa Indonesia menuju Indonesia Emas pada tahun 2045.
Pertanyaannya, bagaimana caranya untuk memaksimalkan potensi dari 84,4 juta pemuda tadi. Tentunya hal pertama yang harus dilakukan adalah membersihkan tempat pendidikan dari kasus bullying atau perundungan. Bebaskan mereka dari kecacatan mental, sebab prestasi tercipta karena lingkup pendidikan yang sehat dan aman.Gutiawan/red.
Comments