Siapa sih yang tidak kenal aplikasi satu ini? Ya, benar—TikTok, platform media sosial berbasis video yang memungkinkan penggunanya membuat, membagikan, dan menonton video pendek berdurasi 15 detik hingga 60 menit. Kini, aplikasi ini sangat populer, terutama di kalangan anak muda.
Beberapa riset menunjukkan bahwa persentase konten ilmiah di TikTok tergolong rendah, jika dibandingkan dengan konten hiburan, komedi, dan lain-lain. Meskipun ada beberapa akun yang berbagi informasi ilmiah, tidak semua menyajikan pengetahuan yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sayangnya, banyak anak muda zaman sekarang yang salah kaprah dalam menggunakan aplikasi ini. Mereka menjadikan konten TikTok sebagai rujukan utama pengetahuan, hanya karena sejalan dengan sudut pandang pribadi. Akibatnya, tidak sedikit yang tumbuh menjadi individu yang sulit menerima perbedaan pendapat, bahkan mengabaikan orang lain saat berbicara. Rasa saling menghargai pun perlahan hilang.
Tanpa disadari, TikTok menyusun algoritma yang mempelajari kebiasaan kita, lalu menyajikan konten yang selaras dengan minat dan opini kita secara berulang-ulang. Fenomena ini dikenal sebagai ruang gema (echo chamber), di mana kita hanya mendengar pandangan yang sesuai dengan pikiran kita sendiri. Lama-lama, kita merasa sudah cukup berilmu, padahal bisa jadi hanya tersesat dalam bias informasi. Lebih parah lagi, kita mulai merasa paling benar, menganggap orang lain sesat, dan menolak komentar yang tidak sejalan.
Masalah ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman dalam Surah Al-Isra Ayat 36:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
Berkenaan dengan ayat ini, Imam Adz-Dzahabi dalam kitab Al-Kabāʾir mengutip perkataan Imam Qatadah:
“Jangan katakan kamu melihat sesuatu, padahal kamu tidak melihatnya; atau kamu mendengarnya, padahal kamu tidak mendengarnya; kamu mengetahuinya, padahal kamu tidak mengetahuinya.”
Imam Adz-Dzahabi menjelaskan bahwa makna dari ucapan ini adalah larangan berkata tanpa ilmu, apalagi merasa paling tahu dalam perkara yang belum benar-benar dipahami.
Dalam kitab Ta’līm Al-Muta’allim Ṭarīq At-Ta’allum, Imam Al-Zarnuji juga menegaskan pentingnya talaqqi, yaitu belajar langsung dengan guru. Dengan talaqqi, kesalahpahaman bisa dicegah. Guru dapat memberikan penjelasan yang benar dan menjawab pertanyaan secara langsung, sehingga pemahaman lebih mendalam. Beliau pun menekankan pentingnya menjaga sanad (rantai) ilmu, agar kualitas dan otoritas ilmu tetap terjaga.
Jadi, mungkinkah seseorang bisa menjadi alim dalam waktu singkat, hanya bermodal TikTok tanpa guru?
Mungkinkah seseorang bisa berdebat, sedangkan ia bahkan belum paham dasar-dasar ilmu?
Akhir kata, di tengah pesatnya perkembangan teknologi, kita dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks. Semoga kita bisa bersikap bijak dan berpikir jernih dalam menghadapi gelombang informasi yang datang dari segala arah. Sebab, menjadi pintar di internet bukan soal siapa yang paling keras berpendapat, tapi siapa yang berani berpikir ulang. (Agustian/Red)
Comments