Kenakalan remaja adalah sesuatu yang tidak asing lagi di telinga kita. Setiap hari, pasti ada saja perilaku remaja yang dapat memicu emosi. Kenakalan memang sering diasosiasikan dengan remaja atau siswa yang masih duduk di bangku sekolah. Namun, tidak hanya mereka, semua kalangan pelajar, termasuk santri, juga ada yang menunjukkan kenakalan.
Salah satu faktor penyebab santri nakal adalah pengaruh teman sebaya dan lingkungan yang didominasi oleh kenakalan. Kenakalan yang mereka lakukan merupakan cara untuk mengekspresikan diri, tetapi melalui jalan yang salah dan mengikuti jejak teman-temannya.
Sekelumit cerita tentang masa kehidupan Abuya Hasan Baharun dalam buku Kumpulan Kisah Abuya Al-Habib Hasan Baharun (Cerpen Abuya Hasan) karya Ustaz Nur Hanifansyah mengisahkan bahwa Ustaz Ismail Ayyub, sebagai tangan kanan Abuya Hasan Baharun, merasa geram dengan santri yang sering melanggar peraturan pesantren. Ia mencatat nama-nama santri yang melanggar dan melaporkannya kepada Abuya Hasan Baharun.
“Abuya, ternyata anak-anak yang nakal ini tidak banyak, hanya 50 santri saja. Itu-itu saja orangnya. Bagaimana kalau 50 santri ini kita pulangkan, biar insya Allah kita aman?” ungkap Ustaz Ismail kepada Abuya Hasan.
Habib Hasan Baharun tersenyum dan berkata, “Kalau kamu pulangkan anak-anak ini, nanti akan datang anak-anak nakal yang baru. Jadi, biarkan anak-anak ini agar 50 anak nakal yang baru tidak datang.” Ucap Abuya Hasan.
Alasan Abuya Hasan Baharun tidak memulangkan 50 santri yang melanggar adalah khawatir akan datang 50 santri baru dengan pelanggaran yang sama, tetapi dengan orang yang berbeda. Hal ini akan menyebabkan Ustaz Ismail kesulitan di kemudian hari karena harus mengenal sifat dan watak mereka kembali. Sedangkan 50 santri yang terlanjur nakal, Ustaz Ismail sudah paham dan mengenal mereka, sehingga tidak sulit untuk mencarinya. Jika mereka melanggar, Ustaz Ismail pasti tahu tempat mereka berada dan dapat memberikan hukuman yang pantas tanpa membuat pusing di kemudian hari.
Abuya Hasan Baharun melanjutkan ucapannya, “Kamu perlu ketahui bahwa anak nakal itu tidak mungkin bisa hilang; selalu ada. Kenapa? Karena tugas kita adalah melayani anak-anak. Maka, sudah pasti yang menyiksa kita adalah anak-anak itu. Kamu tahu, orang-orang yang menjual beras juga disiksa dengan beras itu. Mereka terus bekerja berputar-putar, jadi beras itu yang menyiksanya.”
“Jadi, kuncinya, kita bekerja apapun, maka pekerjaan itu yang menyiksa kita. Lalu, apakah kamu ingin semua anak itu jadi baik sehingga ketika bel berbunyi, mereka langsung masuk kelas? Jadi, tugas kamu apa? Mereka sudah berjalan sendiri, terus kamu dapat pahala dari mana?”
Sebagai seorang murabbi, Abuya Hasan pasti memahami perilaku santrinya. Santri bagi beliau adalah anak-anak yang nakal. Beliau mentarbiyah mereka bukan hanya dengan mengajari di kelas, tetapi juga dengan mengingatkan mereka jika mereka melampaui batas kenakalan.
Pada dasarnya, tugas seorang murabbi bukan hanya mengajar, tetapi juga memberikan tarbiah akhlak kepada muridnya. Walaupun santri tetap nakal, bukan berarti guru mempasrahkan atau melepas diri dan membiarkannya. Itu adalah kesalahan besar, sebagaimana ucapan Abuya Hasan di atas: tugas guru seperti penjual beras yang disusahkan oleh beras.
Ustaz Hasan Basri pernah mengungkapkan saat studi banding salah satu pesantren ke Dalwa bahwa seorang santri yang nakal itu membawa rahmat kepada gurunya, sebab kenakalan tersebut dapat mengangkat derajat seorang guru.
Beliau bercerita bahwa dulu pernah ada santri yang sangat nakal; setiap hari selalu ada pelanggaran yang dilakukannya hingga ustaz yang menghadapinya pun pasrah kepada Allah. Namun, santri tersebut menerima hukuman atas kenakalannya, bukan malah lari dari hukuman. Ketika selesai mondok, santri tersebut berdakwah kepada preman-preman yang sering membuat onar di masyarakat. Malahan, preman-preman tersebut mudah diajak ke jalan yang benar. Hal ini terjadi karena sifat nakalnya saat mondok dulu membuatnya tahu apa saja yang dibutuhkan dan solusi untuk masyarakat, walaupun mereka adalah preman yang ditakuti.
Untung Kena Saya
Kisah lain tentang Abuya Hasan juga sangat viral di kalangan santri. Suatu ketika, saat Abuya Hasan sedang berjalan di bawah bangunan tingkat dua, seorang santri menyiram air bekas cuci tangan dari lantai dua, dan air tersebut mengenai sebagian badan Abuya Hasan. Pundak beliau hingga bawah basah, dan tanah yang kering membuat gamis beliau kotor. Santri yang melakukan hal tersebut sangat ketakutan dan merasa khawatir akan dimarahi. Namun, Abuya Hasan hanya memberikan nasehat dengan penuh kasih sayang:
“Lain kali, kalau buang air, kamu lihat dulu ke bawah, takutnya ada orang lewat. Kalau tidak ada, baru kamu buang. Ini untungnya kena saya, bagaimana kalau kena orang lain?” Beliau menasihati santri tersebut tanpa marah.
Kata-kata Abuya Hasan dalam situasi tersebut menunjukkan kerendahan hati dan kasih sayangnya. Bahkan ketika bola yang dimainkan anak-anak mengenai beliau, Abuya Hasan memanggil anak yang menendangnya dan berkata,
“Lain kali kalau ada ustaz lewat, kamu istirahat dulu, biar tidak kena. Ini untung kena ustaz, bagaimana kalau kena orang lain?” Penataan bahasa beliau saat menasehati santri layaknya menasehati anak sendiri, penuh kelemah lembutan dan kasih sayang.
Demikian diantara sekelumit kisah Abuya Al-Habib Hasan Baharun bersama santrinya. Semoga kita bisa meneladani akhlaq baik beliau dan mendapatkan keberkahan dari beliau. Aamiin.
Comments