Sekarang kita sudah berada di penghujung tahun 1445 Hijriah. Artinya sebentar lagi kita akan memulai catatan bari di tahun 1446 Hijriah. Wih, udah mau tahun baru aja nih. Udah siap apa aja? Kembang api? Acara kumpul-kumpul makan-makan? Atau healing ke tempat wisata? Tentunya kita sudah memikirkan berbagai hal menyenangkan yang kita lakukan untuk menutup tahun ini dengan senyuman.
Tapi tulisan ini bukan untuk itu. yakni, ternyata ada adat atau kebiasaan yang unik yang dilakukan oleh sebagian umat muslim, tepatnya di Ponpes Darullughah Wadda’wah. Di Ponpes yang sekarang diasuh oleh Abuya Al-Habib Zein bib Hasan Baharun. Dalam kebiasaan pesantren dalam menutup tahun, semua keluarga besar pesantren dikumpulkan di lapangan guna membaca istighfar dan doa.
Di ujung tahun kemarin, suara istighfar dan lantunan doa menggema di langit-langit Ponpes Dalwa. Hal ini pun tentu saja dilakukan agar Allah menghapus segala dosa dan maksiat yang sengaja atau tidak sengaja dilakukan selama 1 tahun tersebut. ibarat kita sudah memulai tahun dengan baik, tent saja kita menutupnya dengan amalan yang baik pula.
Kan pergantian tahun Hijriah terjadi waktu tenggelamnya matahari, tepatnya pada waktu masuk sholat Magrib. Setelah, menutup tahun dengan doa, dzikir dan istifhar, semua santri dan astatizah meminum susu putih sebagai bentuk tafa’ul-an. Artinya, dengan meminum susu tersebut, mereka berharap pada Allah agar tahun ini seperti warna susu tersebut, yakni bersih dari maksiat.
Apa sih yang dimaksud dengan Tafa’ul?
Untuk mengatahui apa itu tafa’ul, maka perlu kita baca hadist Nabi Muhammad SAW. Dalam sebuah hadis yang diriawayatkan Imam Bukhori dan Imam Muslim dari jalur Sayyidina Anas RA, Rasululullah saw bersabda:
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا طِيَرَةَ وَخَيْرُهَا الْفَأْلُ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْفَأْلُ قَالَ الْكَلِمَةُ الصَّالِحَةُ يَسْمَعُهَا أَحَدُكُمْ
“Tiada jangkitan penyakit (tanpa kehendak Allah) dan tidak ada kesialan sesuatu, akan tetapi aku menyukai al-fa’l”. Para sahabat bertanya: “Apa itu al-Fa’l, ya Rasulullah?” Baginda menjawab: “Kalimah/ucapan yang baik yang didengar oleh kalian”.
Hadist tersebut mengaitkan Alfa’lu dengan kalimat yang baik yang didengar oleh orang yang sakit tak lain adalah bentuk doa atau dukungan. Contohnya seperti seseorang yang menjenguk orang sakit, kemudian ia memanggilnya, “Ya Salim (wahai orang yang sehat atau selamat)”. Dengan panggilan itulah orang sakit tadi menaruh keyakinan dalam hatinya bahwa ia akan sehat atau selamat. Menaruh keyakinan atau harapan seperti ini disebut al-Fa’l atau at-Tafa’ul.
Intinya, tafaul merupakan suatu perbuatan atau ucapan yang dilakukan sebagai sikap optimis serta harapan. Ada lagi contoh yang lain seperti seorang petani yang membawa janur kuning ke sawah. Ia berharap agar sawahnya cepat menguning seperti janur kuning ini. Padahal janur ini tidak ada kaitannya dengan menguningnya padi.
Contoh lain. Ada seorang anak dinamakan Muhammad. Tentunya orang tua dari anak tersebut berharap nama yang melekat pada anaknya membuat anak mereka bisa meniru Sang Teladan, yakni Nabi Muhammad saw.
Nah, adapun meminum susu putih di awal Muharrom, selain menyambut tahun baru, para guru-guru dan santri berharap tahun ini akan menjadi tahun yang putih. Artinya, mereka berharap tahun ini dijauhkan dari hal yang keruh, seperti dosa, maksiat, bala, bencana dan lain sebagainya.
Mereka optimis, bahwa tahun ini menjadi tahun yang baik. Segala urusan berjalan dengan lancar, dimudahkan oleh Allah ta’ala, sehat dari segala penyakit dan waba dan masih banyak harapan-harapan yang tergambar dari susu yang berwarna putih tersebut.
Emang apa sih hukumnya Tafa’ul ini?
Jika berbincang dengan hukum, perbuatan-perbuatan yang disebutkan tersebut merupakan kias dari hadist yang tertulis sebelumnya. Adapun semua bentuk optimisme bisa tercermin dari hadist Qudsi yang berbunyi;
أنا عند ظن عبدي بي
“Sesunggunya Aku (Allah) sesuai dengan prasangka hamba-Ku…”
Yakin, optimis dan berprasangka baik terhadap Allah adalah sifat seorang muslim sejati. Meskipun tak ada hubungannya, seperti susu putih dengan amal manusia, tetapi sikap optimisme dan berprasangka baik terhadap Allah sudah tercatat sebagai pahala. Hal inilah yang sangat dianjurkan oleh ulama kita.
Sikap optimisme dan berprasangka baik terhadap Allah juga merupakan kunci kesuksesan seorang muslim. Gambaran dari hadist Qudsi di atas, jika seorang muslim menyangka bahwa Allah akan mengabulkan hajatnya, maka Allah akan mengabulkan hajat tersebut. Sebaliknya, jika seorang muslim sudah berprasangka bahwa Allah tidak akan mengabulkan hajatnya, Allah pun tidak akan mengabulkan hajatnya.
Jika sudah mengira doanya tidak Allah kabulkan, artinya ia tidak percaya bahwa Allah tidak akan menerima doanya. Intinya, bagaimana Allah mau menjawab doa hamba-Nya jika hamba tersebut tidak yakin atas doanya.
Jika seorang hamba optimis bahwa usahanya akan membuahkan hasil, maka Allah akan beri dia kesuksesan. Jika tidak, Allah pun juga tidak berikan dia hasil atas usahanya. Jadi, Allah memberikan apa yang diharapkan hamba-Nya sesuai dengan sikap hamba tersebut.
Kesimpulannya, tafa’ul atau sikap optimisme amatlah dianjurkan oleh ulama kita. Terlepas hal itu berhubungan atau tidak, kan Allah Maha Kuasa. Adapun catatannya, kita wajib meyakini bahwa hasil yang kita tuai nanti adalah murni anugrah dari Allah, bukan semata-mata karena minum susu, atau karena janur kuning atau hal yang semisalnya.Gustiawan/red.
Comments