Dunia jurnalistik menjadi senjata untuk mempertahankan sebuah kebenaran masa kini , maka mahasiswa yang berjiwa santri harus terus membangkitkan budaya jurnalistik di kalangan pesantren. Kali ini Kru Koran AT-TANWIR mewawancarai Prof.Dr.Habib Muhammad Baharun mengenai pendapat beliau akan kebangkitan jurnalistik pesantren.
Bisa dijelaskan sedikit tentang jurnalistik?
Jurnalistik itu ilmu kewartawanan, menyangkup bagaimana cara atau teknik membuat berita, reportase kemudian laporan perjalanan dan lain sebagainya, dan ketika jurnalistik masuk di pondok pesantren maka itu sangat bagus, karena ini sebagai sarana komunikasi antar mahasiswa, jadi, saya kira jurnalistik pesantren itu sangat dibutuhkan, walaupun jurnalistik meanstrim sudah mengalami degradasi, tapi yang penting, gimana mengelolanya sesuai dengan kebutuhan kampus, itu merupakan persoalan dan tantangan tersendiri.
Apakah jurnalistik pesantren sudah mulai bangkit ?
Iya sudah bangkit, buktinya, dibeberapa pesantren saya lihat, misalnya, Sidogiri Media itu laku di masyarakat karena mereka tahu siapa sasaran pasarnya. alumni yang besar itu dimanfaatkan menjadi segmen pasar Sidogiri Media, jadi sampai sekarang Sidogiri Media tetap exix. Jadi kita harus membidik segmennya dulu. terus yang kedua, saya melihat ada majalah, yang saya lupa namanya, itu juga mengandalkan alumni, jadi majalah ini bisa hidup dan menghidupi dirinya sendiri tanpa ada subsidi dari lembaga karena sudah terdapat perputaran dana, jadi sekarang segmennya kita itu adalah mehasiswa santri, apa kebutuhan mereka kita berikan, bagaimana menghadirkan dunia luar kedalam pesantren yang pastinya berbau positif.
Terus bagaimana langkah-langkah kongkrit kedepannya untuk membumikan dunia jurnalistik kalangan santri?
Santrikan adalah anak muda, dimana anak muda itu dinamis, kreatif, inofatif, itu sifatnya anak muda, jadi kebutuhan mereka harus kita penuhi dalam konteks majalah dinding misalkan, seperti saya dulu ketika masih sekolah menulis di mading dengan judul “jangan baca tulisan saya”, ternyata, tulisan ini sempat menjadi buming di sekolah saya, artinya, kita jangan mementingkan isi, tapi kita harus menarik mereka untuk membaca. Kreatifitas dalam mengembangkan majalah dinding itu sangat perlu, harus terus dipikirkan.
Mungkin anda mempunyai tips menulis agar santri ingin mengembara dunia jurnalistik?
Saya yakin, selama orang itu tidak buta huruf pasti bisa menulis, minimal menulis surat atau selain surat seperti skripsi, puisi, pengalaman pribadi dll. Tulisan-tulisan pendek aja, nanti dia akan terbiasa, jadi jangan berambisi agar dimuat dimajalah dinding, setelah anda menulis, maka surulah teman anda membaca tulisan yang telah dibuat kemudian mintalah masukan darinya. Semua penulis besar berawal dari hal tersebut. Maka kalau terus berlatih insyaallah bisa. Jadi seseorang itu harus bertahap, tidak langsung bisa menulis. Seperti orang naik sepeda, tidak mungkin langsung bisa setelah disampaikan cara naik sepeda, tapi masih harus berlatih terlebih dahulu, ada prosese, naik jatuh, naik jatuh, tapi setelah lama memakai sepeda, dia pasti lancar, itu prosesnya seperti itu, jadi tidak ada tips dan metode yang mencetak penulis handal kecuali memang sebuah keinginan dari diri sendiri.
Tanggapan anda tentang seseorang atau golongan yang menggunakan jurnalistik sebagai senjata dalam berpolitik?
Ya… itu sah-sah saja, orang menulis jangan dibatasi, selagi itu bermanfaat untuk membangun karakter bangsa, jangan dibatasi untuk tidak boleh menulis politik, menulis itu bebas. Liat juga, apakah tulisannya bermanfaat atau tidak, kalau suatu yang tidak bermanfaat pasti tidak ada gunanya.
Pesan anda untuk santri dan mahasiswa INI Dalwa ?
Majulah dengan cara menulis. Kalau anda kuliah pasti tugas akhir adalah menulis skripsi, kalau skripsi tidak jadi maka tidak akan wisuda, jadi tetap akan bertemu dengan tulis-menulis, jadi jangan tinggalkan tradisi menulis, tidak jadi sarjana nanti.
Comments