KolomOpiniWildan

Google Dalam Memandang Sarjana

0

Terlepas dari hiruk-pikuk perkuliahan, dimana mahasiswa memiliki berbagai tujuan dalam mengikuti perkuliahan. Ada yang bilang mencari ilmu, organisasi, pengalaman. Ada juga yang bilang mencari gelar serjana.
                Google sebagai perusahaan multinasional mempunyai pandangan tersendiri dalam menyikapi gelar sarjana yang disematkan untuk persyaratan penerimaan karyawaannya. Tidak seperti di indonesia, gelar sarjana menjadi syarat mutlak seseorang untuk bekerja dan bergerak dibidang apapun. Bahkan untuk menikah pun, ada juga calon mertua yang mensyaratkan untuk menjadi menantunya harus bertitel sarjana. Sebuah fenomena ironi, bagaimana label sarjana dapat mengubah pola pikirdan kultur masyarakat secara fundamental. Padahal label sarjana sendiri belum tentu dapat menjadi barometer kecakapan yang dimiliki seseorang.
                Disinyalir dari Salah satu petinggi Google sekaligus kepala rekrutmennya, Laszlo Bock, mengungkapkan bahwa “Google menganggap gelar sarjana bukanlah jalan satu-satunya bagi seseorang untuk menunjukkan bakatnya.” Bagi Google gelar sarjana bukan segalanya, memang tentu saja di dalam perusahaan ini bertebaran orang-orang dengan gelar Ivy League (lulusan dari 8 universitas bergengsi).  Tapi, Google sendiri tidak menganggap itu sebagai sesuatu yang mutlak.
                Gelar sarjana hanyalah sebuah sertifikat keahlian. Misalnya, punya gelar di bidang jurnalisme adalah penanda bahwa kamu tahu sedikit-banyak tentang menulis berita dan mewawancarai narasumber. Tapi, itu belum tentu menunjukkan apakah kamu bisa menyajikan ide yang brilian. Belum tentu juga itu menunjukkan kemampuanmu bicara di depan orang banyak. Belum tentu kamu bisa membangun sebuah situs atau berpikir secara antusias terhadap suatu permasalahan.
                Lebih lanjut lagi, ijazah sarjana itu belum tentu membuktikan bahwa kamu memang memiliki karakter yang diperlukan, Apakah kamu orang yang mau belajar? Apakah kamu orang yang terbuka pada kritik? Apakah kamu luwes dan komunikatif, atau selama ini cuma sukses melalui berbagai tes di bangku kuliah?
Kenapa gelar sarjana tak begitu penting bagi Google?
                Sebab gelar sarjana tak serta menjamin kemampuan berpikir logis seseorang. Berpikir secara logis tak segampang kelihatannya. Bahkan, orang-orang yang bergulat di bidang komputer dan matematika masih bisa terjebak pada kesesatan logika. Google lebih tertarik untuk membentuk orang-orang yang punya kegigihan dibandingkan mereka yang cerdas dan punya nilai tinggi tetapi malas.
                Dari sini kita perlu meninjau ulang, apa yang kamu cari dari kuliah?, kenapa kamu harus kuliah?, dan apa yang kamu ingin lakukan selepas jadi sarjana?. Menuntut ilmu hingga jenjang perguruan tinggi itu penting, apalagi di negara kita yang serba menuntut riwayat pendidikan terakhir.
                Sistem yang diterapkan oleh Google ini juga diterapkan oleh beberapa perusahaan besar kelas dunia yang lain seperti Apple, dan Ernst and Young. Dan lambat laun dinamika dan pola pikir tentang bukan suatu prioritas pengunaan gelar sarjana dalam dunia bekerja seperti Google ini akan merambat masuk ke negara Indonesia dan negara Lainnya.
Jadi apa yang perlu kamu persiapkan?
Kalau bisa ketika kamu di bangku perkuliahan tidak hanya terfokus pada mata kuliah dan tugas-tugas saja, tapi juga menggembleng keterampilan (soft skill), dan mengumpulkan pengalaman.
Tak perlu berkecil hati kamu kuliah dimana? perguruan tinggi milik negara atau swasta sama saja. Yang membedakan antara kamu dan mereka selepas sarjana adalah apa yang telah kamu ambil dan dapatkan semasa kuliah. Dan jangan lupa, dunia perkuliahan bukan hanya mengandalkan kemampuan IQ, tapi juga kegigihan dan kemauan untuk belajar. Gunakan waktu empat tahunmu untuk mempelajari hal lain di luar kelas, dan dapatkanlah pengalaman baru yang akan membangun karaktermu.
Jangan pernah mendikotomikan (membeda-bedakan) ilmu, entah itu ilmu umum atau agama. Karena ilmu dengan ilmu yang lain memiliki keterkaitan satu sama lain. Islam tidak akan pernah memiliki cendikiawan-cendikiawan muslim jika umat muslim dahulu telah membeda-bedakan ilmu. Kita tidak akan pernah mengenal Ibnu Sina sebagai bapak dari ilmu kedokteran? Jika beliau membedakan ilmu agama dan umum, Kita tidak akan pernah mengenal Al-Khawarizmi sang penemu Aljabar dan angka nol, jika beliau hanya mendalami ilmu agama saja. Hari ini kita membutuhkan para cendikiwan-cendikiwan muslim yang memiliki integrasi antara satu disiplin ilmu dan disiplin ilmu yang lain. Untuk menyelesaikan tantangan zaman dan polemik umat manusia yang berkembang tanpa batas.Wildan isma/Red.

admin dalwaberita.com
Media Informasi dan Berita Terpercaya Seputar Ponpes Dalwa

Rapat Paripurna Bahas Kesuksesan MFA Jilid 2

Previous article

Pembukaan Al-Majma’ Fiqhiyyah Akbar se-Jawa dan Madura Ke-2 di Dalwa | LPMDalwa | Dalwa

Next article

Comments

Leave a reply