Siapa yang tidak kenal dengan santri? Pencari ilmu berpakaian islami, selalu membawa pulpen, notes (buku saku), dan siwak di sakunya. Rela hidup di kesederhanaan pondok pesantren, namun tidak sedikitpun mengeluh atas apa yang dialaminya disana. Demi cita- citanya menjadi ulama pewaris Rosul s.a.w.
Namun menjadi santri yang sejati tidak serta merta hanya masuk pondok lalu santai berdiam diri. Makan, minum, tidur, buang hajat, dengan mindset dangkal ”Yang penting dipondok, belajar tidak belajar, nanti berkahnya datang sendiri. Jadi ulama atau tidak itu urusan nanti.” Pemikiran tersebut adalah kesalahan yang sangat fatal yang terjadi kini di sekian banyaknya santri.
Pembentukan karakteristik santri yang sebenarnya dimulai dengan pensucian hati dengan menghilangkan sifat-sifat buruk di hati. Misalnya ujub, sombong, riya, ananiyah (egois), hasud (Dengki) dan sifat-sifat yang menghancurkan kehidupan santri jika tidak dihilangkan secepatnya. Lalu dilanjutkan dengan pemunculan sifat-sifat baik dalam hati misalnya tawadhu (rendah diri), dermawan, serta bahagia dengan kebahagian orang lain.
Bukan hanya itu, dia juga harus menyiapkan bekal-bekal untuk membimbing masyarakat ketika sudah selesai pembelajarannya dipondok pesantren, karena tidak bisa dipungkiri, peran santri dalam kehidupan masyarakat laksana peran dokter bagi orang sakit. Namun, bedanya dokter mengobati penyakit badan, sedangkan santri mengobati penyakit hati. Sehingga ketika santri mengoptimalkan perannya di kehidupan masyarakat, maka terciptalah masyarakat yang sehat bathin dan zhohir dan tidak diragukan lagi daerah yang didiaminya tersebut akan menjadi negri baldatun thoyyibah wa robbun ghofur. M.AzhZhuhri/red
Comments