Secara umum, ketika kita membahas sejarah Islam lebih senang untuk mengangkat tema yang berkaitan dengan politik dan militer tanpa melihat Islam sebagai entitas peradaban. Cara pandang yang parsial seperti ini membuat tidakadanya titik temu yang jelas ketika kita ingin mengaitkannya dengan pembahasan peradaban Islam yang komprehensif.
Seperti contoh dalam penulisan sejarah Rasulullah, kadang kita lupa menganalisa bagaimana Rasulullah dalam kurun waktu hanya dalam 23 tahun, bisa membuat entitas peradaban baru yang luar biasa. Kita tahu bagaimana rusaknya era jahiliah sebelum datangnya Islam. sebuah suku yang senangnya bertikai satu sama lain, kemungkaran ada dimana-mana, dalam waktu yang singkat berubah menjadi peradaban yang bisa mengalahkan peradaban lain yang sudah established sejak lama yaitu Peradaban Romawi dan Persia.
Mari kita coba sedikit mengulas konfrontasi antara Islam dan Romawi. Pada perang Mu’tah (7 H), pasukan umat Islam berjumlah 3000 orang melawan negara superpower Romawi yang berjumlah 200.000 orang. Lokasi peperangan terletak di wilayah Syam yang notabenenya masih dalam kawasan kerajaan Romawi. Sebuah prestasi besar bagi umat Islam waktu itu bahwa mereka tidak kalah dalam melawan kekuatan besar Romawi, meskipun dengan jumlah pasukan yang lebih sedikit dan bertempur di medan lawan.
Beberapa tahun setelahnya, terjadi perang Tabuk (9 H). Perang ini terjadi karena kerajaan Romawi ingin membalas dendam atas kekalahan mereka waktu perang Mu’tah. Raja Romawi Heraclius bersama pasukannya memutuskan untuk menyerang langsung Madinah. Kabar ini langsung terdengar oleh Rasulullah. Waktu itu pasukan Romawi sudah sampai di daerah Tabuk dan mengistirahatkan pasukannya. Karena waktu itu sedang musim panas. Rasulullah tidak mau menunggu Romawi datang ke Madinah, namun Beliau bergegas langsung bersama pasukannya yang berjumlah 20.000 menyerang Romawi di Tabuk, mendengar kabar bahwa Rasulullah berangkat dengan pasukannya di tengah musim panas itu, hati Heraclius mencuit dan memutuskan untuk memukul mundur pasukannya.
Tentunya, ketika pasukan Islam sudah sampai di Tabuk, mereka tidak menemukan satupun pasukan Romawi disana. Bersama pasukannya, Rasulullah menetap di Tabuk selama dua minggu, rentan waktu yang tidak sebentar. Menetap di Tabuk dalam kurun waktu dua minggu dengan jumlah pasukan yang besar tentu membutuhkan logistik yang sangat besar. Bayangkan jika setiap 100 orang membutuhkan satu ekor unta untuk sekali makan, berarti ada sekitar 8.400 unta yang beliau bawa untuk memenuhi kebetuhan makan selama dua minggu di Tabuk. Ini menunjukkan pasukan dan logistik yang dibawa oleh pasukan muslimin tidak sedikit.
Sehingga menariknya dari perang Tabuk ini adalah bahwa strategi perang yang dilakukan Rasulullah tidak hanya strategi fisik tapi juga psikis. Menetap di Tabuk dalam hitungan yang lama adalah satu starategi untuk membuat pasukan Romawi sadar bahwa pasukan yang mereka lawan bukanlah sembarangan pasukan, tapi sudah menjadi entitas yang sangat luar biasa besarnya. Dalam kurun waktu dua minggu, sebenarnya pihak Romawi jika benar-benar ingin berperang, mereka memiliki kesempatan waktu tiga kali bolak balik Tabuk-Syam, tapi hal itu tidak dilakukan oleh mereka. Sehingga memberi kesan di mata masyarakat dunia waktu itu bahwa Romawi adalah penakut. Inilah kejeniusan Rasulullah dalam mengatur opini publik.
Belum lagi kalau kita membahas kekuatan maritim yang dibangun di zaman kekhalifahan Utsman bin Affan. Bagaimana laut mediterania yang waktu itu dijadikan sebagai benteng laut kerajaan Romawi Eropa bisa ditembus oleh kekuatan maritim umat Islam. Pada tahun 28 H, umat Islam berhasil menaklukan pulau terdekat dari benua Eropa yaitu Siprus. Setahun berikutnya, Abdullah bin Amir memimpin pasukan hingga menguasai wilayah kerajaan Persia.
Ketika wilayah Persia takluk secara keseluruhan, entitas Bahasa Persia disana otomatis berubaha menjadi bahasa Arab, maka muncullah para ulama-ulama yang ahli linguistik dari Persia, bahkan perkembangan terpesat dalam penulisan Nahwu dan Sharf ada di Kufah, ulama-ulama hadist juga kebanyakan dari Persia seperti Imam Bukhari, Muslim, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Dawud, Daruqutni dan sebagainya.
Untuk menggambarkan bagaimana idealnya umat Islam dahulu ketika ilmu dan amal beriringan, bisa kita juga mengambil ibrah dari sejarah Shalahuddin Al-Ayyubi ketika bertekad untuk membebebaskan Baitul Maqdis di Palestina yang dikuasai pasukan Salibis Kristen. Cara pertama yang dilakukan oleh generasi pra-Shalahuddin adalah dengan mendirikan madrasah-madrasah, sebagai wadah pengajaran pelajaran-pelajaran agama untuk para pemuda yang notabenenya sebagai calon tentara-tentara yang akan membebaskan Baitul Maqdis.
Ketika para pemuda itu sudah siap dengan bekal ilmu agama dan mental berjuang menegakkan kalimat Allah, diberangkatkanlah para prajurit-prajurit itu dengan dipimpin oleh Shalahuddin Al-Ayyubi. Setiap malam, Shalahuddin Al-Ayyubi mengecek keadaan pasukannya, dan yang sangat luar biasa adalah prajurit-prajurit itu sudah bangun dua jam sebelum shubuh untuk shalat malam setiap malamnya.
Suatu hari, Shalahuddin Al-Ayyubi keliling mengecek keadaan prajurit-prajuritnya dan melihat semua pasukannya, apakah sudah bangun melaksanakan shalat malam dan membaca Al-Qur’an. Namun ketika itu ada dua orang prajurit yang masih tidur terlelap. Shalahuddin kemudian menghampiri keduanya untuk membangunkannya serta berkata dengan nada marah, “Allah telah mengakhirkan pembebasan Baitul Maqdis disebabkan kalian”. Begitulah kondisi tentara yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis.
Oleh karenanya, perlu kita kembali melihat sejarah peradaban Islam untuk mempelajari pola atau model kebangkitan Islam baik dari zaman Rasulullah hingga kekhalifahan setelahnya. Salah satu konsep baru Islam yang belum ada di era Jahiliah adalah konsep jihad, konsep ini berbeda dengan konsep peperangan yang lain. Karena jihad dalam konteks peperangan adalah untuk menegakkan kalimat Allah. Nuansa metafisikanya sangat kental, sehingga kemenangan-kemenangan dalam pembebasan suatu kawasan (futuhat) diiringi dengan ketawadhu’an tanpa ada rasa ego dan kesombongan.
Islam mendidik umatnya bukan hanya untuk menjadi sholeh untuk dirinya sendiri, tapi lebih dari itu untuk menjadi muslih (an-Nur: 88), karena umat ini dianggap umat terbaik ketika ia menengakkan amar ma’ruf nahi mungkar (al-Imran:109). Mari kita mengkaji ulang sejarah peradaban Islam, apa saja rahasia para salafus sholeh sehingga mereka bisa membawa peradaban Islam ini ke puncak kejayaaannya, apa rahasia mereka yang hanya butuh dua generasi untuk menaklukan dua perdaban superpower Persia dan Romawi. Kalau kita analogikan terhadap konteks sekarang. Adakah sebuah entitas kelompok atau negara yang bisa mengalahkan dua negara superpower Amerika Serikat dan China sekaligus, hanya dalam kurun waktu 50 tahun? Jawabannya ada pada diri kita sendiri. Wallahu a’lam.Kholid/red
Comments