الخط يبقى زمناً بعد كاتبه * وكاتب الخط تحت الأرض مدفون
”Sebuah tulisan akan tetap ada meski penulisnya telah terkubur di dalam tanah”
Bergerak dalam bidang tulis menulis adalah unsur yang amat urgen di setiap peradaban manusia. Dengan menulis, para ulama turut berdedikasi dalam dunia keilmuan untuk generasi mereka dan berlanjut hingga generasi setelahnya. Dengan karya-karya itu pula, mereka akan selalu “hidup” sepanjang masa meski raga sudah tak berpijak di atas tanah, dan terus menjadi guru yang menebarkan ilmu ke pelosok dunia.
Senada dengan itu, Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia berkata “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Jika sekilas saja kita menengok sejarah, maka jelas sudah bahwa kemajuan suatu peradaban ada pada kemajuannya dalam bidang literasi. Andalusia di zaman keemasan Islam misalnya. Negeri itu telah melahirkan banyak cendekiawan muslim dalam pelbagai bidang, mulai dari bidang ilmu-ilmu syariat, filsafat, hingga ilmu sains dan teknologi.
Pada zaman keemasan itu, cukup banyak ditemui perpustakaan-perpustakaan pribadi milik masyarakatnya yang jumlah koleksi bukunya memasuki angka yang sangat menakjubkan. Sebagai contoh, Abu al-Fadhl bin al-Amid. Saking banyaknya koleksi buku di perpustakaan milik pribadinya sampai saat dia mau pindah dari satu tempat ke tempat lain, ia membutuhkan 100 ekor unta untuk mengangkutnya.
Will Durant dalam bukunya juga menyinggung tentang besarnya perpustakaan-perpustakaan pribadi di era itu, salah satunya milik Shahib bin Abbad. Bahwa koleksi perpustakaan milik pribadinya pada abad ke empat hijriah setara dengan seluruh buku yang ada di Eropa pada masa itu.
Jika itu hanyalah perpustakaan milik pribadi, bagaimana dengan perpustakaan umum yang ada di zaman keemasan Islam tersebut?
Pertama, perpustakaan Baghdad. Jumlah buku yang ada di perpustakaan ini saking banyaknya hingga buku-bukunya bisa dijadikan jembatan menyeberangi sungai Tigris yang ukurannya hampir sama dengan sungai Nil (kedalamannya mencapai 10-11 meter). Yaitu kisah masyhur ketika tentara Tartar (Mongolia) menyerang kota Baghdad. Saat itu pimpinan tentara Tartar, Hulagu Khan, dengan biadabnya menjadikan buku-buku yang ada di perpustakaan ini tumpukan layaknya jembatan guna menyeberangi sungai Tigris. Bayangkan betapa banyaknya buku-buku yang ada di perpustakaan ini.
Kedua, perpustakaan Darul Ilmi Kairo; ada lebih dari 700.000 buku di dalamnya. Ketiga, perpustakaan Tripoli. Menurut salah seorang sejarawan, total buku yang dibakar tentara Salib dari perpustakaan ini mencapai 3.000.000 buku. Termasuk di antaranya kitab-kitab karya Imam Al-Ghazali.
Keempat, perpustakaan Cordoba Andalusia (saat ini: Spanyol Selatan); disana ada 44 buah katalog yang masing-masing berisi 50 halaman, disitu hanya tertulis judul-judul buku koleksi perpustakaan di dalamnya. Lubna sendiri, seorang wanita pustakawan pada zaman itu, berhasil mengumpulkan 500.000 buku untuk koleksi perpustakaan tersebut. Jadi, silahkan hitung sendiri berapa banyak buku di dalamnya.
Sebagai perbandingan sederhana, mari kita tengok perpustakaan-perpustakaan yang ada pada zaman ini khususnya di Indonesia. Pertama, koleksi Perpustakaan Nasional. Perpustakaan milik pemerintah ini memiliki koleksi sekitar 2,6 juta buku. Kedua, di era modern ini mesin-mesin canggih percetakaan telah ada dan mudah didapatkan. Sedangkan pada zaman keemasan Islam saat itu masih manual menggunakan tulisan tangan manusia, sebab mesin percetakan belum ada dan baru dibuat beberapa abad kemudian.
Ketiga, pada masa keemasan tersebut, jumlah penduduk Cordoba di Andalusia hanya sekitar 500.000 jiwa. Maka bandingkan dengan penduduk Indonesia yang saat ini mencapai 250 juta jiwa. Artinya, jika Andalusia yang hanya berpenduduk setengah juta jiwa saja memiliki perpustakaan yang begitu menakjubkan, maka Indonesia semestinya mampu berprestasi 500 kali lipat lebih baik dibanding Andalusia.
Catatan sejarah seputar dunia perpustakaan yang begitu gemilang itu bisa dijadikan bukti, bahwa umat Islam pada zaman itu telah memiliki tingkat produktivitas yang sangat tinggi dalam dunia literasi, terutama menulis karya ilmiah.
Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah dalam kitabnya yang berjudul Qimat Az-Zaman Inda Al-Ulama banyak menyebutkan kisah-kisah hidup para ulama yang waktunya dioptimalkan untuk membaca dan menulis buku. Ibnu Jarir At-Thabari misalnya. Seorang ulama tafsir dan hadits terkenal ini menulis setiap harinya 40 lembar kertas. Semua karyanya dalam bidang apapun jika dihitung dan ditotal jumlah keseluruhannya mencapai 358 ribu lembar.
Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilany juga demikian. Ia tidaklah tidur hingga ia telah menulis 35 lembar dari hafalannya. Ibnu Abi Dunya selama hidupnya telah menulis setidaknya 1000 karya buku. Imam Al-Baihaqi, ulama yang istiqamah berpuasa selama 30 tahun ini karyanya mencapai 1000 volume buku, dan semua karya-karyanya tersebut berkualitas tinggi, banyak faidah dan langka ditemui yang menyamainya.
Imam Jalaluddin As-Suyuti, menurut Syekh Dr. Said Mamduh, mempunyai karya 725 kitab dalam banyak bidang keilmuan. Sedangkan dari kalangan ulama Nusantara, ada Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani seorang ulama produktif keturunan Sunan Gunung Jati yang telah menulis 115 kitab.
Adapun karya tulis dengan volume terbesar dalam catatan sejarah, menurut sebuah versi, adalah kitab Al-Hawi fit Tafsir karya Syekh Abdurrahman Al-Qammasy dengan ukuran 840 jilid atau lebih dari 300.000 halaman. Sedang di posisi kedua adalah kitab berjudul Funun karya Syekh Ibnu Aqil Al-Hanbali sebesar 800 jilid. Sedangkan menurut Imam As-Suyuti; penulis paling produktif dan terbesar sepanjang masa adalah Ibnu Syahin, ia telah menulis 330 judul karya. Salah satu karya agungnya adalah kitab berjudul At-Tafsir sebesar 1000 jilid dan kitab berjudul Al-Musnad sebesar 1500 jilid.
Sekali lagi, pada zaman itu belum ada mesin canggih yang praktis untuk tulis menulis. Tidak ada mesin ketik, apalagi mesin percetakaan. Segala kegiatan penyalinan buku semua dilakukan secara manual dan langsung tangan manusia. Namun semangat dan produktivitas para ulama dalam dunia literasi tak pernah surut meski kondisi yang sangat jauh dari kata mudah. Dikisahkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal tidak menuliskan selawat setiap setelah nama Nabi disebut karena langkah beliau untuk menghemat kertas pada zaman itu.
Lalu bagaimana dengan era modern saat ini? Era dimana peralatan canggih yang super memudahkan ada di genggaman tangan. Menulis tidak lagi di atas kertas dengan pena yang dicelupkan ke tinta hitam terlebih dahulu sebelum dipakai untuk menggoresnya. Ada komputer, laptop, tablet hingga ponsel genggam yang fiturnya mampu mewakili jutaan lembar kertas, ribuan liter tinta, bahkan seisi perpustakaan sekalipun. Untuk menyebarluaskan karya ilmiah pun tidak melulu harus melalui percetakaan dan penerbit. Bisa dengan bentuk file PDF yang dengan cepat bisa tersebar luas di dunia internet, atau sekedar tulisan singkat dengan sangat mudah dibaca khalayak hanya dengan satu klik via media sosial.
Bergerak melalui tulisan di era ini memang sangat urgen. Dengan didukung jaringan internet yang sangat berkuasa, media sosial yang mendominasikan bentuk tulisan tentu sangat banyak peran manfaatnya. Mulai dari media dakwah, portal berita, cerita inspirasi hingga kritikan untuk penguasa. Maka sudah semestinya masyarakat era digital ini, terlebih kaum santri terpelajar, melambung tinggi dalam dunia literasi, terutama menulis karya. Karena dikatakan; tidak ada kebaikan pada sebuah umat jika kemampuan menulisnya hanya ada di tangan orang-orang munafiknya.
Imam Al-Ghazali berkata “jika kau bukan anak seorang raja, juga bukan anak seorang ulama besar maka jadilah penulis”. Karena dengan tulisan, suaramu akan terdengar.” Dan jika memegang gadget mewah membuatmu terlihat kaya, maka dengan memegang buku kau akan terlihat pintar. Jadilah penulis, jika tidak, jadilah pembaca!.Barizi.
Comments