OpiniUktub Competition

Masa Depan Santri: Apa Jadinya Santri di Masa Depan?

0

Pernah nggak  kamu kepikiran tentang bakal jadi apa kamu di masa depan nanti?

Apa pekerjaan dan nasib keluarga kecilmu ketika kamu sudah menjadi seorang ayah? Atau, apa yang orang-orang ekspektasikan kepada kamu karena latar belakangmu yang merupakan keluaran Pondok Pesantren?

Kalau kamu pernah kepikiran, that’s a good sign. Itu pertanda bagus bahwa kamu peduli akan masa depan kamu. Asal jangan sampai berlarut-larut, apalagi sampai meninggalkan kewajibanmu di masa muda ini.

Setiap orang punya masa depannya masing-masing. Baik kita, ayah ibu kita, kakek nenek kita, dan kelak anak-anak kita nanti, mempunyai masa depannya masing-masing. Mungkin, profesi orang tuamu saat ini adalah ‘masa depan’ yang sering mereka doakan di masa muda mereka.

Jika orang tuamu dulu berdoa agar kelak memiliki keluarga yang bahagia, finansial yang mencukupi, anak yang sholeh, maka bisa jadi saat ini adalah waktu-waktu terealisasinya doa-doa mereka dan hasil dari jerih payah mereka yang sedang mereka tuai — atau mungkin setahun dua tahun lagi, atau mungkin 10 tahun lagi.

Dan kamu adalah bagian dari jawaban doa-doa dan kerja keras orang tuamu dahulu.

Mari kita bilang bahwa masa depan adalah hak prerogatif masing-masing orang. Artinya, kamu yang memegang kendali penuh akan mau jadi apa kamu di masa depan nanti.

Adapun orang lain nggak berhak untuk menentukan, apalagi ikut campur mengendalikan masa depanmu. Kecuali dua hal: harapan orang tua dan kehendak Allah.

Terus, buat apa dogma ‘kamu memegang kendali penuh atas masa depan kamu’ kalau ternyata masih ada dua faktor yang bisa merebutnya? Maka kamu harus tahu dua alasannya juga:

  1. Masa depanmu bukan cuma tentang kamu

Mau sekeras apa pun kerjamu dan sejauh apa pun perjalananmu, kamu tetaplah seorang manusia, seorang anak, dan seorang hamba. Ada manusia-manusia lain yang harus kamu tunaikan hak-haknya: seperti teman-teman, tetangga, sampai istri dan anak-anakmu.

Namun, ada dua orang yang membahagiakannya adalah wajib, berbakti kepadanya adalah harus, dan membalas budinya adalah musti — walaupun tak akan pernah bisa — yaitu kedua orang tuamu.

Orang tuamu adalah alasan mengapa kamu hidup. Mereka adalah setengah bagian dari hidupmu. Jika kamu telah kehilangan salah satunya atau bahkan keduanya, sejatinya kamu hanya menjalankan hidupmu setengah saja.

Maka kamu bisa hidup sepenuhnya lagi dengan cara menghidupkan mereka: dengan mengirim doa-doa dan menyambung silaturahmi dengan kerabat mereka semasa masih hidup.

Pengorbanan dan jasa mereka menghidupimu jelas sebuah harga yang tak bisa dibayar. Pengorbanan mereka tak akan mereka ucapkan kepadamu.

Sedikit omelan yang keluar dari mulut mereka sesungguhnya tak sebanding dengan pengorbanan yang telah mereka kerahkan demi mengurusmu. Maka tak heran jika Allah Subhanahu wa Ta’ala mewanti-wanti kita melalui firman-Nya:

فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

“Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan ‘ah’ kepada keduanya dan janganlah kamu membentak mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.”

(QS. Al-Isra’: 23)

Karena satu kata saja yang menyakiti hati mereka, sama seperti mempertaruhkan pintu surga dan pintu neraka.

Dari sana, jika ada orang tua yang meminta anaknya untuk menjadi A atau menjadi B, saya rasa bukanlah suatu hal yang harus dicap tak wajar.

Terlepas setiap orang tua memiliki pikiran dan sudut pandang berbeda, sekadar mengikuti keinginan mereka dengan menjadi apa yang mereka minta bukanlah sebuah beban, apalagi halangan.

Seperti apa yang pernah dikatakan Ustadz Segaf Baharun: Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, jika salah satu orang tua meninggal, maka akan terdengar seruan dari langit — namun hanya manusia saja yang tidak mendengarnya. Seruan itu berkata:

“Telah meninggal ibumu, yang dengannya Ku-mudahkan engkau mendapat rezeki. Telah meninggal ibumu, yang dengannya Ku-mudahkan engkau mendapat banyak pahala dari-Ku. Telah meninggal ibumu, yang dengannya Ku-mudahkan untukmu menghapuskan dosa-dosamu. Telah meninggal ibumu, yang dengannya dimudahkan engkau menapaki derajat yang tinggi di sisi-Ku.”

Justru bisa saja kunci tercapainya keinginan kita terletak di sana — pada ketaatan dan keikhlasan kita dalam memenuhi keinginan orang tua.

Maka jelas, keinginan mereka bukanlah sebuah beban atau halangan. Bahkan bisa berubah menjadi jembatan kilat untuk kita meraih apa yang kita impikan. Tinggal bagaimana kita menyikapi dan menyiasatinya.

Atau bisa saja harapan mereka atas diri kita adalah ‘masa depan’ yang tak sempat mereka capai, sehingga mereka menginginkan — setidaknya dari anaknya lah — masa depan itu bisa terwujud.

Namun kembali lagi, masa depan adalah hak prerogatif. Kamu berhak saja menjadi apa yang kamu mau. Yang terpenting: jangan sampai kau raih masa depanmu, tapi kau robek-robek hati orang tuamu.

  1. Masa depanmu bukan cuma milikmu

Inilah hal yang sering luput dari kebanyakan orang: merancang dan merangkai masa depan mereka sedemikian rupa kepala dijadikan kaki, kaki jadi kepala demi ingin mewujudkan masa depan yang mereka dambakan.

Tapi mereka lupa, bahwa masa depan yang selama ini mereka perjuangkan bisa saja direbut hanya dengan satu jentikan jari jika Yang Maha Kuasa menghendaki.

Sebagaimana kita dikaruniai masa lalu, kita juga dianugerahi masa depan. Sebagaimana kita bersyukur diberikan masa lalu, maka mari bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk menata masa depan.

Selalu tancapkan dalam pikiranmu bahwa masa depan yang kamu inginkan, hakikatnya berada di dalam genggaman-Nya. Semakin keras kamu ingin mewujudkannya, keraskan pula doamu supaya Allah meridhai dan mengizinkan kamu untuk mencapainya.

وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.”

(QS. At-Takwir: 29)

Masa depan tanpa ridha-Nya adalah kembang api di siang bolong. Terbayang indahnya, namun hambar tak terasa apa-apa.

Jadi kamu harus pastikan bahwa semua usahamu sekarang dan nanti, tak keluar dari koridor syariat-Nya dan bisa memberi manfaat untuk makhluk-Nya. Karena ilmu dan pengalaman yang kamu dapat adalah titipan dari-Nya, yang bisa kapan saja Ia renggut darimu.

Jika kamu menitipkan masa depanmu pada Sang Pencipta, maka buang seluruh ketakutan dan keraguanmu, karena kamu sudah setengah jalan sampai pada tujuanmu untuk mencapainya.

Jika kamu berhasil menggapai masa depanmu di atas sana, turunkan kepalamu ke tanah untuk bersujud dan mengingat bahwa ini semua adalah karunia dan kebaikan dari-Nya.

Dan ya, ini semua adalah milik-Nya.

admin dalwaberita.com
Media Informasi dan Berita Terpercaya Seputar Ponpes Dalwa

Kunjungi Dalwa, Dirjen Pendis Kemenag RI Tinjau Perkembangan Pesantren dan Investasi

Previous article

Wisuda Al-Hasaniyah Angkatan ke-39 Jill Manadhil : Pegang 3 Resep Kesuksesan

Next article

Comments

Leave a reply