Hari yang semakin sulit untuk dijalani, bahkan untuk mencari sebuah ketenangan dalam kehidupan pun terasa amat sulit, perdebatan terjadi dimanapun, mulai dari ruang kelas, pertemuan keluarga hingga warung kopi. Tempat yang seharusnya menyajikan sebuah kehangatan dan kenyamanan, malah menjadi sebuah tempat debat kusir yang tidak pernah ada ujungnya, bahkan terkadang membuat teman dan saudara saling bermusuhan satu sama lain.
Disisi lain banyak kita temukan teman yang pergi berlibur, mereka pergi mengelilingi dunia bak Imam Battutah maupun Marco Polo yang membelah samudera, namun seakan mereka memiliki tujuan dan maksud yang berbeda, entah untuk menikmati keindahan tanah air ataupun mencari pengalaman dan mempelajari budaya baru di Luar Negeri.
Ada juga sebuah fenomena yang sedang hits dikalangan pemuda, dimana gunung menjadi ramai, pantai menjadi penuh sesak maupun tiket pesawat yang semakin sulit didapat karena telah habis dibooking dari jauh hari.
Pendakian yang dahulu menjadi sebuah hal aneh dan asing di mata masyarakat, saat ini malah menjadi sebuah budaya baru bagi para pemuda, walaupun tanpa disertai ilmu dan pengetahuan tentang gunung yang memadai, mereka tetap bersemangat menabung dan mendaki untuk sekedar mengejar selfie di puncak dan membuang-buang kertas untuk menuliskan nama teman maupun kekasihnya diatas puncak sembari mencari pengakuan dari masyarakat dan komunitas bahwa mereka adalah seorang penakluk ketinggian dan penggila sunrise. Sehingga hal ini juga berimbas negatif pada kelestarian dan keasrian gunung, seperti kita temukan banyaknya sampah, kebakaran hutan hingga ojek gunung yang semakin ramai.
Pantai juga tak luput dari sasaran para pemuda untuk mencari tabungan foto bagi akun instagramnya, banyak juga yang membuat vlog sekedar ingin membuktikan diri sebagai vlogger handal yang menjadi idaman.
Entah hal diatas adalah sebuah bentuk hedonisme dalam hidup ataukah karena semakin banyak persoalan yang dihadapi, sehingga liburan menjadi jalan keluar untuk melepas rasa penat.
Tentu kita berharap itu semua bukanlah sebuah bentuk hedonisme yang bertujuan mencari gelar “mahluk hits” didalam kehidupan, buktinya Soe Hok Gie lahir sebagai sosok kritis, penggerak yang memiliki hobby mendaki gunung, Ibnu Batutah menjadi abadi namnya karena menguasai bahasa dan budaya peradaban dunia pada masanya, begitu juga dengan Andrea Hirata dan Ahmad Fuadi yang berhasil menginspirasi bangsa Indonesia lewat novelnya karena berhasil memberi bukti bahwa anak Desa pun bisa keliling dunia.
Tentu itu yang diharapkan oleh kita semua, dibandingkan dengan lahirnya generasi yang sombong dan bangga dengan kealayannya dan berlomba-lomba mencari pengakuan hits agar mendapat perhatian khusus dari lawan jenisnya.
Yang lebih tidak diharapkan juga adalah mereka mlakukan aktivitas petualangan diatas hanya sekedar untuk menghilangkan kepenatan dan kebosanan. Kepenatan karena sulit untuk mencari suasana nyaman dan aman dari perdebatan kusir di dunia nyata dan dunia maya yang semakin sulit kita hindari.
Lalu juga kebiasaan mudah memberikan cap negatif kepada lawan diskusi dan teman sebangsa yang membuat kenyamanan menjadi sebuah hal yang mahal dan langka.
Terlalu ke kanan kita akan dicap anti NKRI oleh saudara sebangsa, terlalu ke kiri kita akan mendapat label Kafir dari sesama muslim, namun sayangnya titik tengah seakan tidak pernah ada
Saat ini, kita bersyukur bangsa kita sudah memiliki banyak orang cerdas dan hebat, namun sangat disayangkan kitamasih krisi sosok bijak yang bisa mencarikan titik tengah yang saat ini semakin buram
Sosok yang bisa menyatukan opini dan pendapat dari golongan yang berbeda-beda sehingga muncul konsep baru yang menyatukan masyarakat majemuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
Sehingga kerukunan dan kenyamanan yang kita dambakan dan idamkan bukan hanya menjadi sebuah harapan kosong dan mimpi di siang bolong. Kalau tidak, pantas saja banyak orang rela menghabiskan gaji dan tabungannya hanya untuk berlibur, mencari ketenangan di tempat dan suasana baru yang lebih ramah. Meskipun tidak ada yang kita kenal, namun tidak ada yang saling menyalahkan dan menjelekkan satu sama lain.
Karena kenyamanan ada ketika kita bisa saling hidup rukun, tidak saling hujat dan merasa paling benar sendiri.
* Muhammad Ilham Bayhaqi Penulis adalah santri sekaligus Mahasiswa Ponpes Darullughah Wadda’wah Bangil dan Institut Agama Islam Darullughah Wadda’wah.
Comments