KolomOpini

Membangun Bangsa yang Berkarakter Pesantren

0

Barangkali memang sangat tepat jika kita menyebut pesantren sebagai factor utama untuk membentuk karakter bangsa Indonesia. Kalau tidak, tentu Mbah dokter Soetomo tidak bakalan bela habis-habisan pesantren dalam perdebatan yang dikenal dengan “Polemik Kebudayaan” sekitar tahun 1930-an.
Saat itu beliau berdebat dengan Sutan Takdir Alisjahbana yang menganggap pesantren itu anti-intelektualisme, anti-individualisme, anti-egoisme, anti-materialistik. Namun beliau membantah, pandangan sesat tersebut. Beliau menyebut sekolah-sekolah Belanda seperti HIS adalah “racun” bagi anak-anak Indonesia. “Anak-anak dari sekolah desa tercerai dari anak-anak sekolahan standard, sedang anak-anak sekolahan HIS dan ELS sudah merasa dirinya lebih tinggi daripada anak-anak lainnya. Faedah pondok dan pesantren-systeem itu sungguh tidak dapat diabaikan.”
Beliau juga mengatakan bahwa pemuda-pemuda lulusan sekolah-sekolah umum saat itu kebanyakan memiliki sifat loba. “Sekolahan secara Barat yang diberikan kepada kita dapat mencukupi kepandaian bagi mereka yang suka bekerja sebagai memberi kesempatan guna mencerdaskan sekalian tabiat yang berhubungan dengan budi atau keperluan sukma, sedang kebudayaan kita tidak atau sedikit sekali diperhatikannya.”
“Karena itulah, pemuda-pemuda hasil sekolah ini kebanyakan mempunyai sifat loba, dan kegemarannya akan bekerja merdeka kian lama kian berkurang-kurang semangatnya.”
“Lihatlah buah dari perguruan asli kita itu, coba bercakap dengan kiai-kiai itu, sungguh mengherankan pada siapa yang berdekatan mereka, logic mereka, pengetahuan yang didapati dari buku-buku yang dipelajari mereka. Pengetahuan yang sungguh ‘hidup’. Janganlah memandang ‘cara mengaji’ saja yang oleh para debaters dipandang buruk itu. Timbanglah juga keuntungan dan kerugian yang didapati secara perguruan pesantren itu dan yang didapati secara Barat itu dan lazim pada waktu ini, barulah orang mendapat bandingan yang sepadan. Bandingkan kegembiraan orang-orang yang hanya keluaran pesantren dengan orang didikan cara lazim sekarang. Orang akan heran, bahwa orang yang disebut pertama itu biasa memasuki semua lapangan pekerjaan, bisa menduduki pekerjaan yang seakan-akan bersifat merdeka, sedang angan-angan anak kita zaman sekarang hanya akan mencari pemburuhan.” (Dokter Soetomo dalam Polemik Kebudayaan)
Mbah Soetomo menyebut ada sejumlah karakter pada pesantren yang layak dijadikan ideologi kebangsaan kita. Pertama, pengetahuan pada murid-muridnya Kedua, memberi alat guna berjuang di dunia ini. Ketiga, pendidikan yang bersemangat kebangsaan, cinta kasih pada nusa dan bangsa khususnya, pada dunia, dan sesame umatnya umumnya. Keempat, murid-murid akan menyediakan diri untuk menunjuang keperluan umum. Kelima, kekuatan batin dididik; kecerdasan roh diperhatikan dengan sesungguh-sungguhnya, sehingga pengetahuan yang diterima olehnya itu akan dapat dipergunakan dan disediakan untuk menjalani keperluan umum terutamanya. Bukan sembarangan pesantren. (Dalam Pesantren Studies jilid 2 oleh Ahmad Baso)
Flashback ke era penjajahan. Bahwasanya karakter pesantren yang menurut Mbah Dokter Soetomo “bersemangat kebangsaan” itu terbukti sudah membawa bangsa kita lepas dari penjajahan. Banyak sekali militansi pesantren sudah memberi sumbangsihnya bagi bangsa saat itu.  Tentu kita tak dapat melupakan KH. Hasyim Asy’ari dengan Chubbul wathon minal iman yang dicetuskannya . Bagaimana perjuangan arek-arek Suroboyo serta santri-santri di seluruh pelosok negeri pasca Resolusi Jihad Nahdlotul Ulama itu mengudara. Kita juga telah tahu, peran kiai kita, KH. Wahid Hasyim, dalam panitia Sembilan ketika menyusun piagam Jakarta yang akhirnya membuahkan Pancasila itu.
Itu semua merupakan bukti. Bahwa keberedaan pesantren dan masyarakatnya memiliki andil besar bagi bangsa. Sesepuh-sesepuh kitalah yang dulu mampu membawa bangsa kita ke era kejayaan yang kerap mereka sebut dengan kemerdekaan itu.
Sekarang, dan ke depan, keberadaan pesantren sebagai bangsa lebih terfokus pada pembentukan karakter bangsa Indonesia. Lantas bagaimana cara pesantren membentuk karakter santrinya?. Penulis mengangap peran kiai sebagai guru sekaligus orang tua di pesantrenlah yang membentuk karakter para santri. Santri secara langsung akan mengikuti petunjuk, mencontoh tindak lampah(tingkah laku) dan budi pekerti sang kiai yang merupakan implementasi dari kitab kuning itu. Dalam hal ini, Bapak Ahmad Baso mengistilahkannya dengan “nderek kiai” (mengikuti kiai).
Dalam bukunya Pesantren Studies (Ahmad Baso, Pesantren Studies 2A, hlm. 67) beliau menuturkan, “Nderek kiai” adalah salah satu cara pesantren membentuk kepribadian kaum santri. Karena praktik latihan dan berguru itu tidak dilakukan dengan duduk di kelas dengan jadwal-jadwal pasti. Pesantren dan proses berguru di sana merupakan sebuah proses bermasyarakat, satu cara untuk menjalani kehidupan ini sebagai persiapan menuju ke gerbang akhirat.  Berguru pada kiai merupakan kesempatan untuk mengikuti dan meneladani guru, untuk menemukan jati diri, serta kesempatan untuk berderma-bakti. Berguru juga sebuah pendidikan jiwa bagi para santri untuk mengasah kepekaan, memperhalus budi pekerti (akhlaqul karimah) dalam berperilaku dan berpengetahuan, dan dalam sikap terhadap berbagai aspek kehidupan.
Di sini, peran kiai bukan sekedar guru atau pengajar. Lebih dari itu, kiai menjadi figur yang sudah seharusnya diteladani karakternya. Seorang kiai adalah seorang pemimpin yang mampu menciptakan teladan serta tuntunan terhadap lahir dan batin diri masyarakat. Tuntunan, bukan tontonan untuk masyarakat. Di sinilah letak perbedaan antara pengajar yang kiai dengan pengajar yang bukan kiai.
Peran kaum pesantren yang diwakili oleh kiai dan santri dalam membentuk karakter pesantren pun tak cuma di lingkup pesantren saja. Bahkan lebih menyeluruh ke semua lini di masyarakat. Misalnya saja, lewat pengajian-pengajian umum, atau mungkin pengajian kitab kuning di masjid, dan musholla masyarakat.

admin dalwaberita.com
Media Informasi dan Berita Terpercaya Seputar Ponpes Dalwa

Undang Habib Ubaidillah Al Habsyi pada Tamrinul Muhadharah

Previous article

Penutupan Diskusi BSO el-Kisah mengangkat Tema Menyambut Masa Depan Peradaban Islam di Melayu Nusantara

Next article

Comments

Leave a reply