Oleh : A.Zulqisti Zein
Mentari mulai meninggi di kota nabi saat ini, Madinah tepatnya. hilir-mudik burung merpati riang saling bersahutan. Awan seakan tersenyum kepada siapa pun yang memandang, karena saking cerahnya. Semua berbahagia hari ini, lihatlah wajah orang-orang dikota ini senyum sumringah pasti kau temui diraut wajah mereka. Bagaimana tidak, setelah sekian lama mereka menahan lapar dan dahaga, nafsu dan syahwatnya hari ini mereka berhasil melewati semuanya. Hari kemenangan katana, kembali ke-fitri harapannya.
Ketika semua orang tersenyum bahagia nasib malang menimpa seorang anak laki-laki salah satu sahabat Rosul –sebut saja namanya Abdullah (Hamba Allah)- duduk termangu dipinggir taman, tatapannya kosong, air matanya tak kunjung berhenti membelai pipi kecilnya, membenam asa yang kian sirna.
Disisi lain lapangan semua anak sebayanya tengah asik berlarian di taman kesana- kemari tanpa beban, berlari , tertawa sambal merentangkan kedua tangannya.jatuh, bangkit lagi, tertawa lepas seakan mengejek dirinya yang sedang dirundung kesedihan.
Pagi ini semua orang pergi menuju masjid nabawi, tak terkecuali Rasulallah. Beliau keluar dengan pakaian terbaik, wewangian terbaik dan lain-lain yang beliau kenakan pada hari ini adalah milik beliau yang terbaik. Tentunya karna beliau yang akan mengimami sholat Ied hari ini.
Dari kejauhan Rasul melihat ada sesuatu yang ganjil, beliau melihat seorang anak kecil duduk termangu di pinggir taman sambil memeluk lutut dengan kedua tangan, membenamkan kepala diantara kedua lututnya. Beliau pun mendekat. “Apa yang membuatmu menangis? Kenapa tidak bermain dengan anak-anak yang lain?” tanya rasulallah sambal tersenyum.
“Biarkan aku sendiri.” Jawab Abdullah ketus, dia tidak tahu yang ada dihadapannya adalah Rasulallah.
“Bagaimana aku tidak sedih, kini ayahku telah meninggal karena ikut berperang bersama Rasul, ibuku pun menikah lagi dengan laki-laki lain” lanjut Abdullah sambil mengusap air mata.
“Ia selalu berbuat dzolim kepadaku. Ia selalu memanfaatkan hartaku lalu mengusirku begitu saja dari rumahnya. Sekarang aku tidak punya apapun, tidak ada makanan, tidak ada minuman, tidak ada pakaian (baru di waktu ied), tidak ada tempat tinggal untukku” aliran air mata it uterus mengalir bahkan bertambah deras tak terbendung. Rasulallah pun terus menyimak kata demi kata ang keluar dari mulutnya dengan tatapan iba bahkan beliau ikut merasakan sedihnya.
“Dan ketika aku melihat anak-anak sebayaku bermain dengan bahagia, memiliki ayah, mempunyai rumah serta pakaian baru di hari ied ini, menambahlah kesedihanku “ lanjut Abdullah.
“Karna itulah aku menangis”lanjut Abdullah.
Rasulallah pun berkatanya kepadanya tersenyum sambil mengulurkan tangan “Apakah kamu tidak ingin menjadikanku sebagai ayahmu, Sayyidah Aisyah sebagai ibumu, Sayyidah Fatimah sebagai saudarimu, Sayyidina Ali sebagai pamanmu serta Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husen sebagai sepupumu?”
Ia baru sadar laki-laki yang ada dihadapannya adalah rasulallah. Sepersekian detik sedih pun berubah menjadi bahagia, asa yang mulai layu kembali memekar di sirami kata-kata dari rasulallah, perkataannya mampu membuat airmatanya berhenti mengalir, kesenangan membuncah dalam hatinya, masam pun sirna digantikan dengan manisnya senyum.
“Tentu ya rasulallah, bagaimana aku tidak ingin.” Tanpa ba bi bu ia menjawab.
Beliau pun membawa Abdullah kerumah, memakaikannya dengan pakaian terbaik, menmoleknya dengan indah, memberinya makanan, mendidik dan merawatna seperti anak sendiri. Abdullah pun keluar rumah sambil senyum-senyum sendiri tanda bahagia dan kembali bermain dengan anak sebayanya.
Ketika mereka melihat keadaan Abdullah yang berbalik 1800, mereka pun bertanya kepadanya “wahai Abdullah, baru kemarin engkau dirundung kesedihan menangis menyendiri di pinggir Lapangan, lantas apa yang membuatmu senang dan bahagia”.
Dengan santai Abdullah menjawab “kemarin aku lapar tapi sekarang aku kenyang, kemarin pakaianku jelek dan kumuh tapi sekarang aku memakai baju baru, kemarin aku yatim tapi sekarang tidak, Rasulullah mengangkatku sebagai anak. Maka Rasulullah adalah ayahku dan Sayyidah Aisyah adalah ibuku dan Sayyidah Fatimah adalah saudariku dan Sayyidina Ali adalah pamanku serta Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husen adalah sepupuku”.
“seandainya saja ayah-ayah kami meninggal dalam perang itu”. Ujar mereka sedih, karena mereka ingin juga Rasulullah mengangkat mereka sebagai anak juga karena mereka tau betapa enaknya Abdullah hidup satu atap dengan Rasul dan seluruh keluarganya serta berada dalam lingkungan nubuwah. Ahmadzulqisti/ red
Comments