Cerpen oleh : Harun
Rafah, Palestina
“Allahu Akbar!!!” Teriakan takbir menggema di tenda pengungsian, bersama suara ledakan roket menghantam tanah tak jauh dari pengungsi kampan kami. Suara itu membuat orang-orang di tenda-tenda menggemakan takbir, disertai suara riuh tangisan bayi hingga anak-anak yang ketakutan, termasuk aku. Aku hanya bisa menjerit ketakutan. Namun, Umi mampu menghapus semuanya. Saat itu, Umi langsung memelukku erat, lalu mengusap kepalaku, membuatku merasa lebih tenang.
“Umi, aku takut…” bisikku sambil menangis.
“Iya, Hasan. Jangan takut, kan ada Umi,” ujar Umi sambil kembali mempererat pelukannya.
“Asal Hasan tahu, di luar sana ada manusia super hebat, bahkan dia mampu mengangkat mobil dengan satu tangan.”
“Tapi itu nggak ada apa-apanya sama Hasan,” sambung Umi.
Mendengar kata-kata Umi, aku pun mulai tenang meski masih sesenggukan. Umi melanjutkan ceritanya.
“Kenapa nggak ada apa-apanya sama Hasan? Karena cuma Hasan yang mampu melindungi Umi. Hasan yang mampu menghapus ketakutan Umi. Cukup sekali aja Umi lihat Hasan tertawa.”
Aku mendengarnya sambil tersenyum. Lalu Umi menambahkan, “Sekali lagi,” katanya sambil menggelitikku.
Aku tertawa geli hingga melesat-bahak.
“Udah, Umii… udah. Hasan Geli. Ha ha ha…”
Malam yang seharusnya mencekam pun terasa berubah menjadi bahagia. Ketakutan hilang seketika. Rasanya tidak ada kejadian apapun malam itu. Aku pun tertidur pulas di pangkuan Umi.
Setiap malam, Umi selalu bercerita tentang kisah-kisah umat terdahulu ataupun ulama-ulama. Saya pernah mendengar cerita tentang Nabi Muhammad dan keistimewaannya. Sampai suatu hari, Umi bercerita tentang keindahan dan kenikmatan surga. Malam yang dingin mendukung suasana bercerita. Seperti biasa, kepalaku berada di pangkuan Umi. Umi mengelus kepalaku seraya bersenandung sholawat kepada Rasulullah SAW. Tak lama kemudian, Umi berbicara.
“Hasan, nanti kalau di surga, semua orang tua akan kembali menjadi muda lagi loh,” ucap Umi memulai ceritanya.
Aku sangat menyimak cerita Umi. Aku bisa melihat cantiknya Umi kala itu dan merasakan betapa halusnya tangan Umi. Suaranya begitu lembut. Umi melanjutkan ceritanya.
“Satu lagi, Hasan! Di sana itu, asal Hasan tahu, banyak banget keistimewaan di surga. Bermacam-macam loh,” ujar Umi.
Aku, yang baru pertama kali mengetahuinya, langsung penasaran.
“Kasi tahu aku dong, Mi,” kataku sambil agak memaksa.
“Hehehe, ya… ya. Jadi di sana itu ada pohon yang buahnya bisa langsung dipetik, dan rasanya enak banget,” ujar Umi sambil tersenyum.
“Tapi, Umi lebih ingin menjadi bidadari di surga dan bisa berkumpul lagi sama Abi di sana. Terus Hasan jadi pangerannya Umi ya,” kata Umi.
“Siap, Umi!” jawabku dengan lantang.
Umi tersenyum bahagia. “Amiin. Terus ada loh, yang namanya sungai dengan airnya susu…”
Belum selesai Umi bercerita, beberapa temanku datang mengajakku keluar untuk mengambil makan malam berupa sepotong roti dan gelas air di posko makanan yang tak jauh dari tenda. Karena aku tahu Umi belum makan sama sekali, aku meminta izin pergi bersama teman-temanku meninggalkan Umi.
“Nanti kita lanjutkan ceritanya ya, Umi!” kataku.
Setelah sampai di posko dan mengantri, saya berbicara dengan salah satu temanku, Umar.
“Kamu nggak istirahat, San?”
Aku menjawab dengan riang, “Jam segini aku masih asyik mendengarkan cerita Umi. Setelah ini aku nggak sabar dengar cerita Umi tentang sungai susu.”
Umar menjawab, “Sungai susu? Wah, aku baru dengar nih, sungai susu.”
BHOMM!!! DHUARR!!!
Aku dan Umar seketika menoleh ke arah tenda. Umar langsung berlari, dan aku ikut spontan berlari terburu-buru untuk melihat ledakan yang ternyata berada tepat di tenda tempatku tinggal.
Setibanya di sana, saya melihat kobaran api besar menyalakan apa yang ada di dalamnya. Napasku terengah-engah. Aku tak banyak bicara. Hawa panas membuatku tak berani mendekat. Orang-orang sekitar berusaha memuaskan api dengan alat seadanya.
“UMIII!!!!!” Aku berteriak mungkin, dengan mata basah kuyup.
Tiba-tiba, seseorang menggendongku dan memindahkanku ke tempat yang lebih aman. Nyatanya, semua cerita Umi tadi adalah yang terakhir kudengar. Elusan, senyuman, dan suara lembutnya benar-benar terakhir. Semuanya kini hanya menjadi kenangan indah yang terekam jelas di kepalaku. Semuanya habis lebur oleh bom tentara Israel yang sengaja diledakkan di tenda-tenda kami, tepat di sebelah rumah sakit Al Aqsa.
“Ya… cuma bukan karena hal itu orang-orang Gaza menjadi putus asa dan patah semangat,” ucap seorang remaja laki-laki berusia sekitar 20 tahun yang berbicara kepada adiknya, berusia 16 tahun.
Abangnya bercerita tentang kejadian-kejadian Palestina yang ia alami selama empat bulan di sana sebagai relawan Palestina dari Indonesia.
Adiknya bertanya, “Lantas, apa sih yang harus kita lakukan sekarang, sedangkan kita aja nggak bisa ke sana?”
“Dengan keterbatasan kita yang hanya bisa mencakup informasi dan media massa, setidaknya kita berusaha dengan doa untuk mereka. Akan tetapi, jangan hanya berdoa. Kita juga harus membangun solidaritas sesama Muslim. Jangan sampai terpecah belah. Tingkatkan rasa keimanan kita. Karena tidak lain, puncak ketakutan besar mereka, orang-orang kafir Israel, adalah ketika mereka melihat umat Islam di dunia semakin kuat, gagah, dan berani bersuara. Suara kita untuk Palestina adalah suara kemerdekaan bagi mereka,” pesan abangnya.
Comments