Sebagai manusia sudah seyogyanya kita ikut menjaga kerukunan hidup dengan sesama makhluk hidup lainnya. Q.S. Al-Baqarah ayat 30 secara gamblang berbicara terkait amanah yang diemban manusia sebagai khalifah, sebagai pemimpin atau penguasa yang memiliki tugas untuk menjaga dan mengelola segala macam pernak-pernik kejadian yang terjadi di bumi, menjalankan roda pemerintahan dengan pelaksanaan hukum-hukum Allah.
Kemampuan berfikir dan intuisi perasaan hati adalah salah satu alasan mengapa manusia pantas tuk dijadikan khalifah. Kelebihan yang Allah anugrahkan inilah yang menjadi titik pembeda antara manusia dengan makhluk lainnya. Itulah mengapa hanya pada peradaban manusialah yang senantiasa mengalami perkembangan yang signifikan, tidak seperti makhluk hidup lainnya seperti hewan dan tumbuhan.
Menyadari diri sebagai khalifatullah, tentu akan memaksa diri untuk ikut serta bertanggung jawab, memberikan kepedulian dan kesejahtraan kepada semua makhluk hidup. Apalagi setelah mendengar data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dilansir dari databoks.co.id, setidaknya hingga Desember 2023 terdapat 3.489 bencana telah terjadi di Indonesia. Banjir, kebakaran, cuaca ekstrem dan tanah longsor adalah beberapa bencana yang menghiasi layar kaca televisi selama setahun ini. Menyisakan kesengsaraan, meninggalkan pengalaman buruk bagi para penderitanya.
Bencana tersebut akan terus terulang, jika kita tidak segera melakukan pembenahan. Oleh karena itu, topik terkait ekologi- ilmu yang mempelajari terkait intraksi antara makhluk hidup dengan lingkungan sekitarnya- seyogyanya sudah menjadi salah satu diskursus yang kian digaungkan. Menimbang hubungan mutualisme antar makhluk hidup dan lingkungan semakin memprihatinkan. Belum lagi kasus dengan isu lingkungan hidup, sumber daya alam dan perubahan iklim terasa kian mencemaskan.
Memang saat ini, akibatnya secara langsung belum kita rasakan. Hanya saja lambat laun nantinya, pasti akan dituai dan diterima dampaknya. Mungkin bukan kita, namun generasi selanjutnya-anak cucu kita.
Perhatian terhadap lingkungan hidup ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sebelumnya kita telah mengenal KH. M. Ali Yafi’I (1926-2023), salah seorang ulama, ketua MUI 1990-2000 dan penulis buku ‘merintis fiqh lingkungan hidup’. Alhafiz Kurniawan yang dilansir dari Nu Online menuturkan bahwa KH. M. Ali Yafi’I telah banyak mengajurkan untuk menjaga lingkungan dan mengingatkan terkait ancaman dan dampak jika terus menerus diabaikan.
Beliau secara konsisten berdialektika dengan isu perubahan iklim dan kerusakan lingkungan hidup baik dalam skala global maupun dalam skala nasional sebagai sebuah realitas modern. Kiai Ali Yafie menyebut pencemaran air, pencemaran tanah, krisis keragaman hayati, kerusakan hutan, kekeringan dan krisis air bersih, pencemaran udara, termasuk sampah kimia sebagai masalah ekologis yang mengancam umat manusia hari ini.
Fiqih lingkungan hidup yang beliau tulis berupaya untuk menyadarkan manusia yang beriman supaya menginsafi bahwa masalah lingkungan hidup tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab manusia dari amanat yang diembannya untuk memelihara dan melindungi alam yang dikaruniakan Sang Pencipta Yang Maha Pengasih dan Penyayang sebagai hunian tempat manusia dalam menjalani hidup di bumi. (KH M Ali Yafie, 2006 M: 42).
Disamping itu, setelah penulis berbincang singkat dengan salah satu peneliti sekaligus pemerhati lingkungan hidup, Dr. Asep Rahmatullah. Dalam pemaparannya beliau telah memberikan salah satu konsep sederhana yang dapat diampu dan dijalankan oleh para praktisi pendidikan khususnya pesantren.
Pesantren disini menjadi penting, menimbang bahwa pesantren saat ini telah bertransformasi menjadi lembaga pendidikan islam ideal yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat dan sejalan dengan kemajuan zaman. Terlihat peningkatan yang seignifikan dari penambahan jumlah pesantren dan santri saat ini.
Konsep ini telah dijalankan oleh pesantren ekologi Ath-Thaariq. Salah satu pesantren yang memiliki keberpihakan pada alam. Dalam pelaksanaannya, para pengurus telah meninggalkan hal-hal yang yang bersifat kimiawi seperti penggunaan pestisida atau pupuk kimiawi dan mulai memproduksi dan menggunakan pupuk organik dalam menanam tanaman. Tidak hanya itu, hasil tanaman tersebut juga sudah dapat dinikmati pribadi atau dijual di pasaran. Tentunya, hasil yang didapat dengan penggunaan pupuk alami dapat lebih sehat dan segar bagi para konsumen.
Oleh karenanya, mulailah untuk mencoba peduli dengan ikut berkontribusi. Mulailah dengan hal-hal kecil seperti membuang sampah di tempatnya atau mendukung gerakan sosial yang menginisiasi perubahan pada lingkungan. Kalau bukan sekarang, kapan lagi. Kalau bukan kita, siapa lagi. Ashar/Red
Comments