kholidKolomOpini

PEMUDA DAN BUDAYA ILMU

0

Waktu memutuskan untuk melanjutkan studi S-1 di pesantren, saya punya tekad untuk bisa aktif berorganisasi. Tujuannya supaya tidak tertinggal dan bisa bersaing dengan teman-teman yang kuliah di luar pesantren. Bayangan saya waktu itu, kuliah di pesantren pasti minim pengalaman dan relasi, sedangkan berkuliah di luar pesantren baik di dalam negeri maupun di luar negeri pasti punya relasi dan pengalaman yang luas. Setelah lulus, saya mulai menyadari bahwa perspektif mengedepankan aktifisme daripada intelektualisme ini keliru. Apalagi kemudian saya mulai berkenalan dengan pemikiran-pemikrian Syed Muhamamd Naquib al-Attas. Teringat perkataan Dr. Adian Husaini “kurangi aktifisme tingkatkan intelektualisme”. Begitu pesan Prof. Wan Moh Nor Wan Daud kepada Dr. Adian Husani pada masa pertama kuliah di ISTAC.

Fenomena aktifisme ini juga dialami oleh para aktifis dakwah di perguruan tinggi di Indonesia. Di beberapa kampus, para mahasiswa aktifis dakwah biasanya mencukupkan diri dengan mengikuti liqa dan halaqah dari lingkaran mereka sendiri yang ekslusif. Kemudian juga mereka sibuk dan fokus untuk meraih anggota sebanyak mungkin agar bisa masuk kelingkaran organisasi mereka. Hal-hal seperti ini sah-sah saja, bahkan dalam beberapa aspek memiliki nilai positif. Namun, kalau kita berbicara tentang peradaban, cara-cara seperti ini tidak akan meningkatkan taraf intelektual seorang mahasiswa. Apalagi kemudian menyibukkan diri dengan persoalan politik dan menjadikannya sebagai satu-satunya aspek yang harus diperhatikan seorang pemuda muslim untuk melakukan perbaikan umat. Menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, persoalan ekonomi, sosial dan politik saat ini hanyalah bersifat luaran belaka.

Dalam pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas, tantangan internal umat Islam adalah hilangnya adab (loss of adab) yang diakibatkan oleh kerancuan pengetahuan (confusion of knowledge) dan pada akhirnya menimbulkan pemimpin yang rusak (false leader). Tiga hal tersebut bersifat sirkular. Adab yang dipahami al-Attas tidak hanya dimaknai sebagai sopan santun, akan tetapi lebih dari pada itu, yaitu pengenalan daan pengakuan atas masing-masing tempat dalam realitas alam ini. Begitu pula dengan rusaknya pemimpin tidak hanya dimaknai sebagai pemimpin dalam sosial politk, tapi pemimpin dalam berbagai aspek kehidupan termasuk menjadi pemimpin dalam tingkat individu dimana akal memandu seluruh anggota badan dan jiwa termasuk nafsu. Mengenai kerancuan pengetahuan, al-Attas memandang bahwa ilmu yang ada sekarang terkhusus yang dipelajari di perguruan tinggi telah tercampur dan terpengaruh oleh pandangan-alam Barat (westernized). Pengetahuan yang datang dari Barat sarat akan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan worldview of Islam. Sehingga perlu bagi umat Islam terkhusus kalangan sarjanawan untuk bisa memilah dan memilih ilmu-ilmu tersebut dengan melakukan upaya yang disebut dengan Islamisasi Ilmu Pengetahuan Kontemporer.

Tentu sebelum melangkah untuk memperbaiki tiga hal tersebut, seorang muslim dituntut untuk memiliki tradisi dan budaya ilmu. Yaitu kebiasaan dan tindak tunduk untuk selalu berusaha menuntut ilmu baik melalui media membaca, mendengar, menulis, berdiskusi dan sebagainya. Kalau kita melihat sejarah dakwah dan pergerakan Islam Indonesia, tokoh-tokoh pergerakan Islam dahulu sebelum mereka masuk ke ranah aktifisme, mereka sudah kokoh terlebih dahulu dalam capaian keilmuwannya. Sebut saja Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari dan anaknya Wahid Hasyim, H.O.S. Cokroaminoto, M. Natsir, Agus Salim, Ki Bagus Hadikusumo, dan sederet pejuang kemerdekaan lainnya. Disamping mereka mewariskan negara Indonesia untuk kita, mereka juga mewariskan karya dan buku-buku mereka untuk kita pahami dan amalkan. Begitu pula para penjajah Eropa. Mereka tidak hanya sibuk merampas hasil bumi Indonesia, tapi mereka juga membawa para sarjana orientalist untuk mengkaji Indonesia. Sebut saja tokoh-tokoh orientalist seperti Snouck Hurgronje, Stamford Raffles, Clifford Geertz dll. Karya-karya mereka saat ini menjadi rujukan utama dalam pendidikan sejarah Indonesia baik dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Begitu pula dengan kemunculan ideologi-ideologi seperti Kapitalisme, Sosialisme, Liberalisme, dll. Paham-paham itu tidak muncul di ruang hampa, ia ada setelah berproses lama dan sejumlah karya-karya pemikirnya muncul dan disebarluaskan oleh para pengusungnya. Sejarah telah membuktikan bahwa sebuah peradaban besar itu tidak akan muncul tanpa ditopang oleh kaum intelektual dengan segudang gagasan cemerlang yang dilontarkan dalam karya-karya mereka.

Sehingga tanggungjawab pemuda muslim saat ini adalah mengeluarkan segala daya upaya untuk bisa menanamkan budaya ilmu pada dirinya. Karean tanpa budaya ilmu, seseorang tidak mungkin bisa memahami dan memperbaiki tiga problem umat islam baik internal maupun eksternal. Tantangan eksternal umat Islam disini dimaksudkan berupa ilmu pengetahuan Barat yang bersifat sekularistik dan reduktif dalam memandang konsep Ilmu. Tantangan eksternal ini tidak cukup hanya dengan demonstrasi di jalalan. Orang-orang sekuler-liberal tidak pantas dilawan dengan gerakan jalanan Mereka harus dilawan dengan gerakan intelektual. Di era melimpahnya media informasi dan mudahnya akses internet, jurnal,website dll. tidak ada alasan lagi bagi pemuda muslim untuk meninggalkan budaya ilmu. Sudah saatnya kalangan pemuda kita menyadari bahwa problem kita adalah problem keilmuwan. Konsep-konsep itu perlu dijawab dengan analisa dan karya akademis yang berlandaskan worldview yang benar disertai dengan selalu berusaha menanamkan adab yang benar pada diri kita sendiri . Wallahu a’lam  

admin dalwaberita.com
Media Informasi dan Berita Terpercaya Seputar Ponpes Dalwa

Malam Penganugerahan Juarawan Lomba HUT RI dan Festival Muharrah

Previous article

Mau Dibawa Kemana Indonesia

Next article

Comments

Leave a reply