AfinismeCerpenKolomKontributor

Tanaman Ayah

0

 

 
Oleh: Afinisme Author*
            Ayahmu suka sekali berkebun. Ia merupakan tipikal pria yang gemar merawat tanaman. Anyelir, kuping gajah, anggrek, mawar, melati dan sederet bunga yang tak biasa di telingamu. Melon, delima, jeruk dan jambu air kesukaanmu semua dirawat ayah dengan telaten. Sepulang dari bekerja, ia pasti sibuk dengan semprotan dan gunting kecil. Hanya sekedar menyemprot atau menyiangi daun yang mulai menguning.
Ayahmu suka bertanam, tapi bukan seorang Ikebana[1]. Urusan merangkai bunga ia tidaklah becus. Tidak seperti ibu. Wanita yang melahirkanmu tepat tujuh tahun lalu sangat pandai merangkai bunga, tapi sebaliknya, paling bodoh kalau disuruh berkebun. Ayah pernah berkata padamu kalau kau suka bertanam, berarti kau menyelamatkan bumi. Itu saja. Ia suka mengulang-ngulang seraya mengajakmu ke belakang dengan jenis tanaman baru yang akan ia tanam.
Tetangga sebelah kalian suka sekali bertanya pada ayahmu. Bagaimana merawat tanaman agar subur dan lebat berbuah. Maka sekali dua kali ia melayani ibu-ibu di perumahan itu. Seputar perawatan anggrek dan anturium. Besoknya lagi, para om-om berdatangan, menanyakan bagaimana cara menanam jarjir yang baik dan benar. Kau hanya menggaruk kepala yang tak gatal saat mendengar percakapan bapak-bapak berkumis itu, katanya jarjir merupakan sejenis sayuran afrodisiak semacam kemangi.
Kemarin, ayahmu mendapat paket kiriman berisi batang ramping berwarna kehijauan yang kemudian ia tanam di dapur. Kau sempat bertanya, kenapa ayah tidak menanamnya di pekarangan depan atau belakang rumah. Dan kenapa ayah tidak mengajakmu agar menanam tanaman baru itu bersamamu. Bukankah setiap kali ayah mendapat tanaman jenis baru, ia akan mengajakmu untuk menanamnya. Setidaknya memamerkan cara menanam. Maka, ibu yang kala itu berada di dapur menyela, katanya itu tanaman mahal. Tidak boleh ditanam sembarangan agar tidak dicuri orang. Ibumu juga berkata, kau masih kecil untuk menanamnya, maka dari itu ayah sengaja tak mengajakmu.
Siang itu, kau dan temanmu, sehabis sekolah berencana bermain di depan pekarangan rumahmu yang dipenuhi pohon jambu air rindang dan asri. Ibu janji memetikkan buah-buah jambu yang ranum dan akan membikinkan sambal rujak pedas kesukaanmu. Seraya bernyanyi-nyanyi kecil, Kau dan teman-teman saling memoles potongan jambu air yang merona ke cobek berisi petis cabe untuk sekadar memanaskan lidah.
Saat mengunyah jambu, kau kembali ingat tanaman yang ayah terima kemarin. Kau masih penasaran, dan berniat akan melihat secara langsung bentuk tanaman itu. Atau kau juga berniat untuk memamerkannya pada teman-teman di sekolah dan komplek rumah, kalau ayahmu punya tanaman unik dan langka. Tidak semua orang memilikinya.
***
            Setelah kedatangan tanaman rahasia itu, ayah dan ibumu semakin sibuk. Dengan telaten mereka bergantian menyiramnya di pagi dan sore. Tidak hanya itu, mereka juga lebih hati-hati. Ayah memindah tanaman itu ke gudang belakang rumah yang selama ini hening bergembok dan dirantai. Tanaman itu selalu dikurung. Dan yang memegang kuncinya tentu ayahmu sendiri. Ia akan pergi bekerja setelah memastikan gudang itu terkunci rapat. Dan kalau hari minggu tiba, ayah akan pergi ke gudang itu sesudah memastikanmu asyik menonton kartun di depan televisi. Ia akan meminta ibu yang sibuk di dapur untuk mengawasimu, agar kau tidak pergi ke gudang diam-diam.
            Sempat terpikir olehmu, mungkin ini siasat ayah dan ibu untuk hadiah ulang tahunmu yang kedelapan. Mereka berencana memberikan kejutan di ulang tahun yang di tahun biasanya hanya terlihat biasa. Pesta kecil-kecilan dengan seloyang tar stroberi dan sebuah piñata The Little Ponni kesukaanmu. Dulu mereka hanya memberi hadiah gaun Elsa Frozen kesukaanmu lengkap dengan bonekanya. Kau sibuk menebak-nebak seraya tersenyum sendiri. Kau bayangkan tanaman itu seperti buncis yang merambat ke langit seperti cerita di buku dongeng yang sering dibaca ibumu ketika kau hendak tidur.
Atau seperti bunga ajaib yang menyembuhkan ibunda Rapunzel ketika sakit seperti di film Tangled. Bukankah kau sendiri sekarang sedang sakit? Kau sering mengeluhkannya pada ayah ibu saat sesak bernafas. Ayah dan ibu rutin mengajakmu kontrol di sebuah bangunan bercat putih. Kata wanita yang mengontrolmu beberapa bulan yang lalu, di paru-parumu ada sebuah lubang kecil yang harus segera diobati. Kau tak mengerti, menyangka lubang itu mungkin seperti lubang di jarimu ketika tertusuk jarum. Hanya perih sedikit, beberapa hari kemudian langsung sembuh.
Beberapa hari kemudian, salah satu tetangga datang ke rumahmu. Di depan ayah dan ibu, perempuan itu mengeluhkan anaknya yang sedang sakit. Katanya demamnya tinggi dan kemudian sering kejang-kejang. Ia menanyakan obat-obatan apa yang bisa dimanfaatkan dari tumbuhan yang ia tanam di depan rumah. Maka, dengan sigap ayah ke pekarangan. Memilih beberapa tumbuhan berdaun seperti putri malu, umbi dari tanaman berbunga harum yang sering kau cium ketika pagi dan beberapa batang tumbuhan yang merimbun subur di pojok pagar. Ayahmu menyarankan agar semua tanaman itu direbus, lalu diminum tiga kali sehari. Hebat sekali ayahmu, seperti dokter saja. Bisa membuat resep obat. Tapi kenapa ayahmu tidak pernah membuatkanmu resep obat-obatan? Kau lagi-lagi tak mengerti. Kembali terjebak pada kemungkinan-kemungkinan yang kau buat sendiri.
Beberapa hari kemudian, perempuan itu datang lagi. Kali ini ia membawa anaknya yang kemarin ia keluhkan. Sebelum pulang, perempuan itu menyerahkan amplop putih seraya mengucap ribuan terima kasih. Setelah mereka pamit, ibumu menilik isi amplop itu. Ada lembaran-lembaran merah terselip di sana.
***
            Siang berdengkang, sepulang sekolah kau mengeluhkan sesak di dadamu. Kau berusaha mengambil udara lewat rongga hidung tapi hanya tertahan di kerongkongan. Mengerjap-ngerjap matamu yang mulai berair waktu itu. Kau merasa seperti dikurung di sebuah botol sempit dan tertutup rapat, lalu dibuntal dengan kain tebal dan kemudian dicampakkan di sebuah kotak rapat bergembok besar. Sama seperti tanaman ayah. Ibu panik dan menangis sesenggukan. Ayah beberapa kali memencet layar hapenya, menghubungi seseorang.
            Setelah beberapa menit, pintu depan terdengar ketukan. Seorang lelaki kekar berbaju hitam menunggu di luar. Ayah menghampirinya, setelah bicara beberapa detik, ia membawamu masuk ke mobil lelaki itu. Samar-samar kau lihat di lengannya terdapat gambar mawar dililit ular. Kau berpikir, mungkin lelaki itu sama sepertimu. Menyukai bunga mawar. Kalau sudah tiba pelajaran menggambar, kau akan membuat pola untuk setangkai mawar, hanya saja kau tak pernah menggambar seekor ular.
            Malam tiba, ibu kembali mendongeng untukmu. Ia mendongeng tentang Hansel dan Grettel yang ditinggal orangtuanya. Mereka berdua harus berjuang melawan penyihir jahat. sebelum jam menunjukkan pukul sembilan, ibu menghentikan dongengnya dan menyuruhmu untuk menelan beberapa butir obat yang bisa melegakanmu ketika bernafas.
Malam itu, kau tidur dengan nyenyak. Di tidurmu, kau bertemu dengan Jack si pemanjat buncis raksasa yang menjulang ke langit dan ibunda Rapunzel yang sembuh karena diobati dengan tumbuhan ajaib. Saat itu, mereka berdua menyarankan agar kau mengajak ayah untuk melihat tanaman yang selama ini ia kurung di gudang tersebut. Apakah bunganya sudah keluar? Bunganya pasti indah, kata ibunda Rapunzel. Tumbuhan itu pasti bisa menyembuhkan lubang kecil di paru-parumu, begitu kata si Jack sebelum mereka pergi dan menghilang di tumpukkan awan lembut nan putih.
***
            Di Minggu pagi, tidak seperti biasanya kau bangun agak telat. Ketika aroma tumis bayam saos tiram memenuhi ruangan dan panggilan lembut ibu membangunkanmu dari balik pintu, perlahan kau membuka mata. Katanya sarapanmu sudah siap. Mandilah segera, tentunya ada sederet film kartun di hari minggu yang sayang untuk dilewatkan, ibu menggodamu kemudian berlalu. Awalnya kau mengeluh malas, tapi ketika ingatanmu tertuju pada mimpi bertemu ibunda Rapunzel dan Jack si pemanjat buncis ajaib perihal tanaman ayah, kau bangkit menuju kamar mandi.
            Setelah melahap habis sepiring nasi lengkap dengan tumis bayam saos tiram dan telur mata sapi, kau meraih remot tivi. Siap memandangi layar cembung itu setengah hari. Namun, sebelum jemarimu menekan tombol merah, tiba-tiba kau ingat tanaman ayah. Kau menebak-nebak pasti tumbuhan itu sudah berbunga sekarang. Kau kemudian mencari-cari ayah di halaman belakang. Benar, lelaki itu terlihat mematung di depan gudang. Tangannya menimang-nimang kunci.
            “Ayo buka gudangnya, Ayah … aku ingin melihat bunga tanaman Ayah.” Ucapanmu hanya bergeming di telinga lelaki itu. Tatapannya terlihat kosong, ia urung untuk membuka gudang. Kau menarik-narik tangan ayahmu, berusaha mengalihkan perhatiannya. Namun tetap tidak bisa. Wajahmu mengkerut kesal.
            Tiba-tiba sekitar tujuh orang pria besar berseragam keluar dari pintu rumah. Mereka semua berlari ke arahmu dan ayah. Mereka membentak ayah agar tidak berbuat macam-macam. Salah satu di antara mereka membetot kedua lengan ayahmu ke belakang punggungnya dan mengikat kedua tangannya dengan sebuah benda keras berwarna keperakan.
            Gudang tua itu dibobol paksa oleh beberapa orang. Mereka masuk dan menjelajahi setiap inci dari ruangan pengap tersebut, kemudian keluar membawa pot-pot berisi tanaman ayah yang selama ini ingin kau lihat. Hanya tanaman-tanaman hijau berdahan lurus dan berdaun rimbun, mirip daun pepaya, pikirmu saat itu. Wajah ayahmu pucat pasi, dan kau mulai menangis tak mengerti. Kenapa mereka jahat sekali? Ayahmu orang baik. Suka menolong tetangga dengan obat-obatan yang ia racik dari tumbuhan di pekarangan.
Lelaki-lelaki berseragam itu membawa ayah dan ibumu pergi. Meski tangismu nyaring, mobil itu tetap berlalu. Membuat lubang di paru-parumu sepertinya makin membesar dan mencekik pernafasanmu.
Mendung di lazuardi
Raci, 9 Januari 2019
*Pecandu telapak kaki ibu, hujan dan diksi ini aktif di tim kepenulisan Pena Dalwa dan Majalah Albashiroh.


[1] perangkai bunga

 

admin dalwaberita.com
Media Informasi dan Berita Terpercaya Seputar Ponpes Dalwa

Seminar dan Kongres PAI ke V | LPMDalwa | Dalwa

Previous article

Elegi Semusim

Next article

Comments

Leave a reply