Agama Islam merupakan agama yang Rahmatan Lil Alamin ketika Corona Virus Diseases (Covid-19) melanda seluruh dunia. Umat muslim mencari hikmah dari catatan sejarah Islam, Kitab-kitab hadist dan sejarah yang menyajikan jawaban tentang Tha’un, Judzam, Barash dan lainya.
Sementara ini kita semua percaya pada solusi-solusi dunia medis seperti isolasi diri dari publik, menghindari kontak fisik dengan penderita, pentingnya berjuang untuk pengobatan, bahkan ada yang bersikap pasif atau menerima penyakit begitu saja. Kesimpulan-kesimpulan ini ternyata digali melalui pendekatan Takwil atas teks dari kitab-kitab hadist. Misalnya, dalam kitab “Tahdzib Sirah Ibnu Hisyam” karya Abdus Salam Harun
تهذيب سيرة ابن هشام – 1 / 184
قالت عائشة رضي الله عنها فذكرت لرسول الله صلى الله عليه وسلم ما سمعت منهم فقلت إنهم ليهذون وما يعقلون من شدة الحمى قالت فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم حبب إلينا المدينة كما حببت إلينا مكة أو أشد وبارك لنا في مدها وصاعها 7وانقل وباءها إلى مهيعة ومهيعة الجحفة .
dijelaskan mengenai kisah para sahabat yang terjangkit wabah. Kisah itu salah satunya terekam dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Sayyidatuna Aisyah Radiyallahu Anha, dia berkata “ketika Rasulullah SAW tiba di Madinah, kota itu adalah sarang wabah penyakit demam. Banyak dari sahabat Rasulullah Saw yang tertimpa wabah tersebut namun Allah SWT menghindarkan Rasul-Nya dari penyakit itu. Ketika sahabat Abu Bakar, Amir bin Fuhairah, dan Bilal tinggal di dalam satu rumah, mereka semua terserang penyakit demam. Maka aku pun datang untuk menjenguk mereka.” Singkat cerita, Abdus Salam Harun Mengisahkan bahwa Nabi kemudian melarang sementara waktu Sayyidatuna Aisyah untuk menjenguknya lagi, juga melarang sahabat lainya menemui keluarga atau berdekatan dengan yang sedang terjangkiti wabah demam. Kemudian Nabi berdoa; “Ya Allah, pindahkanlah wabah yang menimpa penduduk Madinah ke Mahya’ah. “Mahya’ah saat itu adalah daerah juhfah, sebuah daerah yang hampir tak berpenghuni. Jika pun ada, antara rumah penduduk satu dengan yang lainnya sangat jauh. Jadi virus bisa dipastikan tidak bisa berkembang.
Selain wabah demam, wabah kusta atau sejenis lepra (judzam), juga pernah melanda di zaman Nabi. Wabah tersebut salah satu penyakit yang menular dan mematikan sebelum diketahui obatnya. Penarikan kesimpulan dari hadist di atas ini berupa pentingnya konsep isolasi diri atau karantina. Konsep isolasi ini diperkuat oleh para penafsir teks klasik dengan hadits lain yang berbunyi:
تهذيب الاثار مسند علي – (3 / 19)
حدثنا أبو كريب قال حدثنا وكيع وحدثنا ابن وكيع قال حدثنا أبي عن عبد الله بن سعيد بن أبي هند عن محمد بن عبد الله بن عمرو بن عثمان عن أمه فاطمة ابنة حسين عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لا تديموا النظر إلى المجذمين زاد أبو كريب في حديثه ومن كلمه منكم فليكلمه وبينه وبينه قيد رمح
”Jangan kalian terus-menerus melihat (mendekat) orang yang mengidap penyakit judzam”. Muhadist Abu Karib menambahkan dalam keterangan haditsnya “Barang siapa yang berbicara dengan mereka (yang terkena wabah) maka bicaralah antara dia dan dia (terkena wabah) jarak satu tombak.” Hadist ini dinilai shahih dan sesuai teori medis, bahwa bakteri atau virus penyebab kusta itu ternyata mudah menular antar manusia. Karena itu Nabi Muhammad SAW memperingatkan umatnya jangan berada dekat dengan orang yang sedang terjangkiti, kalau pun berada disekitar kita agar tetap menjaga jarak satu tombak (kira-kira 2,50 M atau 7 hasta dalam pandangan mata).
Hadist itu pun mirip sekali dengan metode karantina Phisycal Distancing yang kini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit.
Sementara kisah lainnya datang dari wafatnya Abu Ubaydah bin al-Jarrah akibat tertular Tha’un yang diabadikan dalam kitab “al-Musnad” karya Imam Ahmad bin Hambal, kitab “al-Muwatha” karya Imam Ahmad bin Hambal, dan kitab “Shahih al-Bukhari” karya Imam al-Bukhari. Kesimpulan yang ditarik dari riwayat hadits ini berupa pentingnya menghindari penyakit Tha’un dan memperjuangkan pengobatannya.
Kesimpulan demikian diperkuat dengan banyaknya para sahabat yang meningal karena sikap pasif mereka menghadapi wabah. Nama-nama lain sahabat Nabi yang meninggal gara-gara prinsip hidup mereka yang “pasif” dalam menghadapi penyakit adalah Muadz bin Jabal dan putranya yang bernama Abdurrahman bin Muadz bin Jabal. Penafsir kemudian menghadirkan figur Amr bin Ash, yang lebih aktif menghindari penyakit, sebagai teladan bagi kita untuk berjuang keras menolak penyakit Tha’un.
Sabda Rasulullah SAW yang mengarah pada penghindaran dari wabah penyakit itu berbunyi;
رياض الصالحين – (1 / 2347)
وعن أسامة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه و سلم قال : [ إذا سمعتم الطاعون بأرض فلا تدخلوها وإذا وقع بأرض وأنتم فيها فلا تخرجوا منها ] متفق عليه
“jika kalian mendengar wabah tersebut menjangkiti satu negeri, maka janganlah kalian menuju ke sana. Namun jika dia menjangkiti suatu negeri dan kalian berada di dalamnya, maka janganlah kalian keluar dan lari darinya” (HR. Bukhari-Muslim).
Penarikan konsep-konsep seperti isolasi dan sikap aktif menjauhi penyakit, tampak menarik karena menemukan praktik konkritnya dan kontekstualisasinya. Negara-negara di dunia dalam menyikapi Covid-19 menerapkan prinsip isolasi; seperti pembatalan segala jenis penerbangan antar negara, anjuran tidak saling melakukan kontak fisik dengan sembarang orang dan perjuangan para ilmuan menemukan anti virus corona.
Semua penarikan kesimpulan analistik di atas itu baik. Hal ini, setidaknya memberikan legistimasi moril atas kebijakan politik negara-negara hari ini. Namun, ada satu hal yang dilupakan dan ini sangat prinsipil sekali. Penyakit Tha’un yang berulang kali disebut dalam hadits Nabi memiliki konteks sejarah panjang menjadi wabah yang datang silih berganti di zamannya.Fanani/red.
Comments